Suatu Siang di Bungurasih

Oleh: Retno Wi

Untuk kesekian kalinya kutatap wajah bulat yang ada di depanku. Kucoba mencari kebenaran di sana. Ya Allah kalau dia benar-benar membutuhkan pasti aku akan sangat berdosa. Tapi kalau ternyata dia menipuku? Tak tahulah. Aku masih bingung. Apalagi jam di dinding terus bergerak. Sekilas aku teringat temanku yang pernah kehabisan ongkos saat menempuh perjalanan Surabaya – Jakarta. Uangnya tinggal 200 perak. Untunglah ada orang yang bersedia menolong.

***
Alhamdulillah, sampai juga di Bungurasih. Berarti sudah separo perjalanan yang kutempuh. Bis yang kutumpangi berhenti di jalur dua pemberhentian bis. Uff…hh!! Surabaya yang panas, sepanas orang-orang yang mengerubutiku.

“Perlu tenaga, Mbak?” seorang penyedia jasa angkutan barang menawarkan bantuan. Aku tolak dengan sopan sambil tersenyum. Aku tak ingin penolakanku menimbulkan reaksi yang tidak menyenangkan darinya. Ah, Surabaya tak pernah berubah. Bungurasih tak pernah sepi dari manusia.
Kupercepat langkah kakiku untuk menghindari buruan para calo yang mencari penumpang. Sekaligus memperkecil resiko kecopetan. Kabarnya terminal terbesar di Jawa Timur ini menjadi sarang para pencopet. Ya, maklum. Inilah Surabaya. Penduduknya padat, lapangan pekerjaan sempit. Sebagian orang akan melakukan apapun untuk bisa bertahan hidup.

Setelah antri sebentar akhirnya tiba juga giliranku untuk membayar peron. Kuangsurkan recehan perak kepada petugas. Setelah menerima karcis, aku bergegas memburu diantara arus manusia menuju ruang tunggu. Suasana ruang tunggu tak kalah bising. Langkah tergesa kaki manusia dengan membawa tas-tas besar saling berebut untuk mendahului. Apalagi ditambah klakson bis yang sahut-menyahut. Untunglah ada peraturan yang melarang awak bis mencari penumpang di ruang tunggu.

Jam di tengah ruang tunggu menunjuk angka 12.15. Berarti kemungkinan sampai di Jember jam 16.00. Masih bisa untuk menjamak sholat. Aku memang tidak terbiasa sholat di terminal ini. Selain musholanya jauh aku juga tidak berani sendirian. Entahlah, mungkin karena dari kecil aku tidak pernah pergi sendirian. Maklum, aku adalah si bungsu yang hanya mempunyai kakak laki-laki. Jadi kemanapun pergi selalu ada yang mengantar. Tapi sayang sekarang kakakku mulai sibuk jadi aku harus mulai belajar pergi sendirian.
“Assalamu’alaikum.” Sebuah salam terdengar nyaring disela-sela klakson bis yang terus bersahutan. Tak kuhiraukan suara itu, karena aku yakin tidak ditujukan untukku. Aku masih terus berjalan menuju tempat pemberangkatan bis. Aku harus cepat agar bisa mendapat kursi paling depan.

“Assalamu’alaikum.” Siapa, sih. Aku mulai penasaran. Aku semakin kaget ketika sebuah tangan menarik lenganku.
“Assalamu’alaikum” Untuk kesekian kalinya ia mengucap salam. Sangat sopan.
“Wa’alaikumsalam” Agak gugup aku menjawab salamnya.
“Ukh, dari tadi ana panggil sejak anti membayar peron. Kok nggak menjawab.” Aku hanya tersenyum.
“Maaf, Mbak. Soalnya ………. Saya kira Mbak bukan memanggil saya.” Aku masih belum mengerti siapa perempuan di depanku ini. Kuteliti dengan seksama, jangan-jangan aku pernah bertemu tapi lupa. Jilbab putih lebarnya, gamisnya yang bermotif bunga-bunga kecil, lengkap dengan kaos kaki dan sepatu hitam. Anehnya ia tidak membawa apa-apa. Memoriku buntu. Aku memang belum pernah melihat dia sebelumnya.
“Afwan, Ukh bisa duduk sebentar.” Pintanya menyadarkan lamunanku. Kami pun mencari kursi yang agak kosong. Meskipun sulit akhirnya dapat juga. Kalau semula aku hanya pasif, kini aku yang duluan bertanya.
“Maaf, Mbak ini siapa, ya. Sepertinya baru sekarang kita bertemu.” Kupanggil dia Mbak karena dari wajahnya aku yakin ia lebih tua dariku.

Bibirnya tersenyum sebelum menjawab. “Ana Rina, kalau Anti?”
“Saya Lilik.” Jawabku singkat.
“Begini, ehm…” Ia tampak kebingungan. Aku masih diam menunggu sambil sesekali memperhatikan jam dinding di tengah ruang tunggu. Apa sih maunya.
“Aduh, ana jadi nggak enak.” Kebingungannya semakin kentara. “Sebenarnya ana baru kena musibah.” Ucapnya dengan nada sedih.
“Innalillahi..” Aku mencoba berempati dengan kondisinya.
“Ana tadi ke Malang. Rencananya mau mengambil baju walimah yang dipinjam teman.” Mendengar nama Malang disebut, aku langsung tertarik. Karena sebelum di Jember aku pernah kuliah di Malang.
“Malang mana, Mbak? Tanyaku antusias.

“Daerah Dinoyo.” Orang di sekitar tidak lagi memperhatikan kami. Semua kembali sibuk dengan urusan masing-masing. “Karena nggak ketemu, akhirnya ana pulang lagi. Tapi saat menempuh perjalanan ke Surabaya, ana kecopetan. Dompet dan tas ana hilang. “Dengan tawa hambar ia mengakhiri ceritanya.
Aku mulai mengerti kalau sebenarnya Rina butuh uang. Tapi sampai ceritanya usai aku belum berinisiatif untuk menawarkan bantuan. Kulihat lagi jam dinding. Aku masih bingung antara percaya atau tidak dengan kisahnya. Logikaku mengatakan agar waspada. Ini adalah Surabaya. Semua modus penipuan bisa saja terjadi. Ah, waktuku semakin pendek.

Kuinggat-ingat uang yang aku bawa saat ini. Aku hanya membawa uang pas-pasan. Meskipun masih ada di tabungan, tapi semua telah kuanggarkan untuk membayar hutang. Motorku baru rusak berat dan untuk minta orang tua aku tidak berani. Untunglah ada teman yang memberi pinjaman. Konsekuensinya anggaranku bulan ini terpotong untuk membayar hutang.

Untuk kesekian kalinya kutatap wajah bulat yang ada di depanku. Kucoba mencari kebenaran di sana. Ya Allah kalau dia benar-benar membutuhkan pasti aku akan sangat berdosa. Tapi kalau ternyata dia menipuku? Tak tahulah. Aku masih bingung. Apalagi jam di dinding terus bergerak. Sekilas aku teringat temanku yang pernah kehabisan ongkos saat menempuh perjalanan Surabaya – Jakarta. Uangnya tinggal 200 perak. Untunglah ada orang yang bersedia menolong.

“Afwan, Ukh. Kalau boleh ana minta diongkosi untuk pulang.” Aku tidak kaget dengan ucapannya karena dari awal aku sudah menduga. Tapi…. Gimana, ya. Uangku hanya 50.000, itupun sudah terpakai untuk ongkos Kediri-Surabaya. Ya Allah, jawaban apa yang harus kuberikan? Antara rasa takut mendzolimi orang yang kesusahan dan khawatir tertipu bercampur menjadi satu. Terus terang, yang membuatku heran adalah sikapnya yang mudah meminta kepada orang yang belum kenal. Terdesak apapun, seorang akhwat tidak akan mudah meminta. Maksimal ia akan meminjam, bukan meminta. Tapi bisa jadi dia benar-benar terpaksa melakukannya. Setelah agak lama, kuberanikan bertanya tentang tujuannya.
“Rumah Mbak Rina dimana?” Bagaimanapun aku harus segera mengambil keputusan.
“Banyuwangi.”

“Banyuwangi mana?”
“Ana di jalan Bratang nomor 120 Banyuwangi.”
“Kalau begitu bareng saja. Saya juga mau ke Jember. Kita kan satu jalur.” Di benakku langsung terbayang aku akan naik bis ekonomi dalam cuaca yang sepanas ini. Tapi tak apalah, kan ada teman ngobrol.
“Tapi ana baru berangkat jam 2 nanti karena harus memblokir ATM yang juga kecopetan.
“Kan bisa telepon ke kantor pusat layanan sekarang?”

“Tapi ana harus menghubungi suami dulu. Suami saya baru pulang kantor sekitar jam 2 siang.” Kilahnya halus. Sebenarnya keraguanku semakin bertambah mendengar alasannya. Atau, jangan-jangan aku yang terlalu paranoid. Ah, sudahlah. Aku semakin kesal dengan diriku sendiri. Kalaupun tertipu aku masih ada uang di tabungan, daripada bersuudhon, padahal dia benar-benar membutuhkan. Otakku sudah capek berpikir lagi. Aku juga tak mau tersiksa antara rasa kasihan dan suudhon.

“Berapa, ongkos ke Banyuwangi?” Akhirnya kalimat itu muncul dari mulutku. Wajahnya tampak meunjukkkan rasa lega.
“Biasanya Rp. 18000.” Segera kusodorkan selembar duapuluh ribuan karena aku harus segera berangkat. Aku tak ingin sampai di Jember maghrib.
“Jazakillah, Ukh. Afwan ana ngrepotin.”
“Nggak apa-apa, kok Mbak. Saya pergi dulu ya, Mbak. Assalamu’alaikum.” Kutinggalkan bangku menuju tempat pemberangkatan bis diiringi tatapan aneh dari puluhan pasang mata di sekitarku. Masa bodoh dengan mereka. Segera kunaiki bis patas jurusan Jember. Sepanjang perjalanan aku masih memikirkan peristiwa yang baru kualami. Ah, biarlah pasti ada hikmahnya.
* * * *
“Hati-hati, lho mulai sekarang.” Mbak Atik berkata sambil menghitung sisa Tarbawi di etalase. “Sekarang susah membedakan antara orang yang benar-benar membutuhkan dengan penipu.” Sambungnya.
“Iya, lho. Pas aku pulang dari Nganjuk ketemu dengan orang seperti itu. Katanya kesusahan, eh ternyata penipu.” Mbak Ros yang sedang menyapu ikut bicara juga.
“Eh, Mbak Ros ketemu di mana?” Sambungku cepat.
“Di Bungurasih. Orangnya pake kostum persis akhwat.”

“Waduh! Jangan-jangan sama, Mbak.” Selaku cepat teringat kejadian dua hari yang lalu.
“Dek, Lilik ketemu juga?”
“Iya. Kemarin pas mau ke Jember aku juga ketemu di Surabaya. Katanya sih rumahnya Banyuwangi.”
“Eh, rumahnya di Jalan Bratang bukan?”
“Iya.”
“Eh..eh. Kalian kok memalukan, sih. Masa satu rumah tertipu oleh orang yang sama.” Sambung Mbak Atik geli.
“Dia cerita gimana, Dek?”
“Katanya kecopetan sewaktu naik bis dari Malang ke Surabaya.”
“Kok, sama ya ceritanya.”
“Berarti dia tergolong penipu yang nggak kreatif.”

“Sebenarnya yang menjadi masalah bukan uangnya. Tapi modus yang dipakai itu bisa merusak citra akhwat.” Aku setuju dengan pendapat Mbak Ros.
“Iya-ya. Aku jadi gemes juga. Kayaknya yang menjadi sasaran memang akhwat. Bahasa yang dipakai meyakinkan banget.”
“Kira-kira apa yang harus kita lakukan, ya. Kasihan, kan akhwat lain. Maunya membantu eh, malah tertipu.” Mbak Ros tampak berpikir keras, sampai tidak sadar kalau menyapunya salah arah.
“Apalagi kalau yang menjadi sasaran orang umum. Benar-benar merusak izzah kita.”
“Kalau kita membuat tulisan di koran gimana? Paling tidak memberi tahu agar para akhwat waspada.” Usulku memecah kesunyian.
“Bisa juga, sih.” Sambung Mbak Atik. Tapi sesaat kemudian. “Tapi apa nanti orang nggak salah paham?”
“Maksud Mbak Atik?” Kuperdekat kursiku ke arah meja.
“Takutnya pembaca akan mengira semua akhwat seperti itu. Penipu.”
“Benar juga, ya. Trus gimana?” Aku manyun sesaat. “Mbak Ros kasih usulan, dong!” Kulihat Mbak Ros masih serius berpikir. Aku dan Mbak Atik menunggu dengan sabar usulan Mbak Ros.
“Cepetan Mbak mikirnya.” Giliran Mbak Atik yang menjadi tidak sabar.
“Oh, ya. Aku ingat sekarang.” Wajah Mbak Ros tampak berbinar. Aku dan Mbak Atik menatap penuh harap. “Sekarang aku ada jadwal mengajar.” Lanjutnya tanpa bersalah. Waaa..aaa Mbak Ros jelek. Dikira mencari solusi, eh malah mikir yang lain. Aku dan Mbak langsung memburu Mbak Ros yang lari kebelakang.
* * * *
Kugeser tasku agar lebih dekat. Siang ini terminal Bungurasih agak sepi, sehingga banyak kursi kosong di ruang tunggu. Aku harus menunggu kakakku yang masih ke toilet. Seorang laki-laki duduk di bangku yang sederet denganku. Aku hanya melihatnya sekilas, selanjutnya aku teruskan membaca novel islam terbaruku.
“Assalamu’alaikum.” Sebuah suara menghentikan bacaanku. Reflek mataku menoleh ke sumber suara tadi. Deg!! Jantung serasa berhenti berdetak. Kutatap lekat wajah di depanku. Ia adalah orang yang telah menipu aku dan Mbak Ros. Ternyata aku bertemu lagi dengannya di sini. Sepertinya terminal ini memang menjadi daerah operasinya. Tapi kenapa dia seperti tidak mengenaliku? Apa karena terlalu banyak akhwat yang menjadi korbannya? Atau karena wajahku yang agak berubah akibat cacarku yang belum sembuh?
“Wa..alaikum salam.” Kuatur nafasku agar tetap tenang. Otakku segera berpikir keras untuk menyusun strategi dalam menghadapinya. “Duduk, Mbak.” Ajakku ramah. Setelah suasana agak cair, mulailah orang yang sekarang bernama Mia itu bercerita. Persis yang pernah dia ceritakan sebulan lalu. Benar-benar tidak kreatif, pikirku.

“Afwan.” Sambungku setelah ceritanya selesai. “Mbak lupa dengan saya?” Kutatap wajahnya tajam. “Sebulan yang lalu kita pernah ketemu di sini, kan?” Kulihat ekspresi wajahnya yang langsung berubah pias. “Dan Mbak juga mengarang cerita yang sama. Maskudnya apa?!” Aku semakin mendesaknya karena merasa berada di posisi yang menang. Ia hanya diam membisu. “Dengar, Mbak. Gara-gara perbuatan Mbak, nama jilbab jadi tercemar dan banyak akhwat yang menjadi korban. Kasihan, kan mereka. Belum tentu mereka punya kelebihan uang. Kalau Mbak memang mau menipu nggak usahlah berdandan seperti ini.” Dia hanya menatap sinis mendengar ucapanku. “Dan afwan. Sekarang saya nggak bawa uang karena sedang diantar kakak.”
Aku hampir melanjutkan kalimatku ketika terdengar suara yang cukup jelas di telingaku.
“Diam!! ..” Nafasku berhenti seketika saat laki-laki yang di sebelahku telah mendekat dengan sebuah pisau kecil di tangan. Aku mendelik karena tidak menyangka kalau Rina atau entah siapa namanya…mempunyai sindikat yang tidak main-main.

“Cepat beri yang dia minta,….atau kau ingin pilihan yang lebih buruk lagi, hah ..h!!”
“Ee…e. Iya … , iya Pak. Sebentar. Sebenarnya saya tidak membawa….”
“Cepat!!” Aduh, aku semakin gugup. Tremorku pun mendadak kambuh. Kakak, kenapa ke toiletnya lama sekali. Aku hampir menangis karenanya. Segera kuaduk isi tasku dan kutemukan satu-satunya lembaran lima puluh ribuan di sana. Disambarnya uang tersebut dengan kasar oleh Rina.

“Jazakillah, Ukhti.” Ucapnya dengan nada penuh kemenangan. Aku benar-benar marah dan jengkel dibuatnya. Tapi apa dayaku melihat mata laki-laki yang mendelik penuh ancaman terus mengawasi. Aku benar-benar lemas. Dari sela-sela hilir mudik manusia tampak kakakku datang dengan membawa botol minuman.
“Kakaaa..kk.!” Jeritku spontan. Yang kupanggil hanya bengong melihat, karena memang Rina dan temannya telah pergi. Uhh… dasar nggak peka!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Prihatin juga sekarang "penjahat" banyak pake modus yang memanfaatkan simbol2 agama untuk mengelabui korbannya. Menakutkan dan membuat perang dalam hati

Muslimah Socks mengatakan...

Peringatan buat kita semua agar selalu waspada. Benar kata mbka novi, bikin perang dalam hati. Muncul su'udzon, muncul juga kekhawatiran jangan2 memang beber dia lagi kecopetan. Sulit ya membedakan