Balada Sebuah Tugas Statistik



[ Cerpen Deteksi Jawa Pos, Senin, 21 Juli 2008 ]

Oleh Retno Wi

Brakk!!...

Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku...

Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?

Brak!!...

Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.

"Ah...! Akhirnya ketemu juga." Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!

"Oh, Tuhan!" dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. "Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku... di mana bukuku??"

Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. "Sialan si Roni!" kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut..., Dicobanya sekali lagi.

Tuu...ut. Tuu..ut. Tuu..ut. "Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi..." Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.

"Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!"

"Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!"

"Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!"

"Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha... !" Klik! Sambungan diputus.

Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.

Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang... Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan....

Aha...! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu... Lalu... Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.

Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.

Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.

Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. "Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku."

****

Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.

"Di sini rupanya kau, Dan." Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?

"Lo sendiri?"

"Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?"

Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.

"Pulang?"

Laki- laki di depannya mengangguk mantap.

"Trus, tugas statitiskmu?"

"Tugas statistik?" Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.

"Ha...ha...haaa..." Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.

"Dan...Dan... tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?" Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.

"Hmm... Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ," ucapnya pelan. "Ingatanmu semakin payah."

"Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!"

"Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu."

"Maksudnya?"

"Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?"

"Jadi?"

"Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha...haa.. ha.."

Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.

Read More..

Cerpen Remaja; SKRIPSI

Oleh : Budi Setyawan

“Tak kusangka selama ini….
Tak mungkin ini ditolak,” Dia memandang buku-buku yang berserakan dengan sepintas lalu dan sewaktu-waktu dia memandangi satu atau dua tulisan yang sangat mempengaruhi dirinya; Hermeneutics: A theory of interpretation….Introduction….first chapter….Robinson, J. 1986, Obsessed With News, New York Times…… Hatinya sedang gundah, ya, sudah dua bulan penelitian yang melelahkan dan hari ini hanya menemui kebuntuan..atau lebih tepatnya lagi kegagalan yang beruntun mulai dari pengumpulan bahan yang salah (dan kurang tepat) sampai dimaki oleh pembimbingnya di universitas.

***
Seharusnya hari ini adalah dead line dari penelitiannya yang berharga, yang diharapkan akan mencengangkan semua pengajar dan guru besar, yang akan mendapatkan medali kehormatan atau lebih lagi, semua teman-temannya akan memujinya setinggi langit bahwa dia telah membawa sebuah terobosan besar.

“Orang-orang bodoh….picik-ya! Mereka semua sebenarnya bodoh dan tidak tahu apa-apa, yang tenggelam dalam keseharian yang statis dengan buku-buku lama yang usang, ketinggalan jaman, mereka menutup diri……” Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang penuh dengan idealisme dan pemikiran baru dia merasa dalam kungkungan sangkar kuno dan harus menuruti apa yang seharusnya ditinggalkan caranya sejak dari dulu. Sangkar itu harus dibuang dengan yang baru, atau mungkin tidak ada sangkar sama sekali, terserah kita mau makan, minum dan kawin dengan cara apa.

“Tetapi, apakah memang harus begitu adanya?” dia agak bimbang. “Harus kuteliti mulai dari awal?…Ah! Pesetan dengan semua ini!” Kemarahannya memuncak seiring dengan pikirannya yang semakin bingung. Dia merasa seperti seseorang yang ditunjuki jalan tetapi tidak melihat ke arah mana jalan itu menuju, apakah yang menunjuki itu orang yang patut dihormati, pejabat yang suka menipu orang lemah atau malah orang gila yang suka memperlihatkan auratnya di jalan-jalan. Mungkin juga harapannya terlalu besar untuk penelitian kecilnya, atau segala kemungkinan yang lain.

“Seharusnya fenomenologi tidak perlu dipakai di sini. Apa sih istimewanya dia? Oke lah-kamu boleh tersenyum kepadaku, setan tapi suatu saat aku yang akan menyeringai. Lihatlah, dengan memakai hermeneutic-nya Gadamer kau tidak perlu dipakai. Semua orang tahu revolusi industri merupakan kebangkitan di Inggris pada abad ke-19, banyak pabrik di mana-mana, orang pindah mata pencaharian ke kota, polusi…..kenapa aku harus memakaimu? Apalagi ini, lihat..Heidegger…hahaha…aku pintar kan?” Mahasiswa itu sebentar memuji dirinya sebentar tepekur menyesali kenapa tidak terpikirkan dari dulu sebelum bertindak. Kenapa tak ada yang bisa dilakukan pikirnya. Beberapa bulan yang lalu dia dengan sukses membimbing teman-temannya mendapatkan nilai yang bagus-bagus karena penelitian yang dianjurkannya. Teman-temannya berterima kasih dan mencantumkan namanya di buku-buku penelitian mereka. Dia merasa bangga bisa membantu orang lain dan idealismenya didengar. Seolah dia ingin mengatakan kepada semua orang: ‘itu yang bagus itu berasal dari pemikiranku’. Tapi-tidak, tentu saja. Hal itu hanya membuat bodoh dirinya sendiri dan orang lain pasti akan menjauhi dirinya karena arogansinya, karena kepolosannya, lebih baik diam-bukankah diam itu adalah emas? Hmm…sudah lama tidak mendengar kata itu-kalau begitu orang bisu dan tuli lebih mulia daripada mereka yang bicara lantang menyuarakan gagasan dan kebenaran. Dia tertawa sendiri-tersungging senyum getir di bibirnya yang membiru karena sudah beberapa jam tidak tersentuh air atau yang lainnya dan hanya tembakau saja yang setia menemani kebingungannya. Matanya kini diarahkan ke rak buku di mana terdapat buku-buku berjejer dengan rapi. Sebagian sudah lapuk tapi justru kelapukannya semakin orang menaruh hormat kepadanya. Buku-buku yang mungkin tidak akan tersentuh lagi karena dia sudah membaca berulang kali, walau ada beberapa yang hanya sekali namun ingatannya memang masih melekat tentang buku itu bagai seekor anjing menemukan tuannya di keramaian atau seekor burung merpati yang harus menemukan jalan pulang setelah terpisah beratus-ratus kilometer jauhnya. Kini matanya mengarah pada sebuah foto teman-teman seperjuangannya…kemana mereka sekarang? Apakah mereka masih mengingatku? Ah, pasti masih karena…..tapi bagaimana kalau mereka sudah menikah, punya suami dan istri idaman, punya kehidupan yang baru tidak seperti aku yang masih bergulat dengan buku dan penelitian terkutuk ini. Dia menggerutu dalam hati namun tidak dapat menemukan pelampiasan kemarahannya.

“Asri…di manapun kamu berada kini…..” dia menggumam pelan….”Ah, betapa bodohnya aku ini…buang pikiranmu, pikirkan bagaimana kamu bisa lulus dan dapat nilai bagus seperti mereka…ya-seperti mereka”. Tapi hanya itu sebatas pikirannya saja, semangatnya sudah luluh tak berdaya terhantam keangkuhan pemikiran kuno akademika yang terus menjerat kreativitas mahasiswa yang haus akan hal yang baru dengan segala iming-iming pekerjaan sebagai dosen yang santun dan agamis. Agamis? Bah! Kata-kata apa itu? Seperti racun dalam madu yang direguk pelan-pelan untuk mematikan pikiran seseorang. Pikirannya terus berkecamuk dalam dirinya seperti perdebatan antara yang baik dengan yang jahat, Galileo dengan dewan gereja, menantang kemapanan pemikiran yang memang sudah dibangun dengan kuatnya selama berabad-abad seperti kastil atau penjara Alcatraz.

Hari sudah menjelang sore. Mahasiswa itu menyalakan lagi batang rokoknya yang entah sudah keberapa kalinya dalam hari itu. Masih terlalu siang untuk makan, pikirnya, kelaparan dan makan menurutnya hanya nafsu yang timbul dan tenggelam dalam sebuah pemenuhan kebutuhan yang murahan dan rendah, seperti seks. Kopi tadi pagi sudah mengering di gelasnya namun tidak ada semut satu pun hinggap di permukaannya. Mungkin hewan lain akan menyantap sisa-sisa kopi itu, cicak atau kecoa barangkali pikirnya. Tatapannya kosong dan tanpa makna. Dia seolah menolak untuk melihat lagi buku-buku dan kertas-kertas yang berserakan di lantai. Seolah dia mendengar kata-kata yang terus meluncur dari balik daun telinganya. Kata-kata panggilan agar terus berpikir jernih dan menurut, kata-kata yang meluncur dari orang tuanya dan kakaknya yang terkadang membuat hatinya jengkel tidak karuan dan tak pernah ditunjukkan kejengkelannya di depan kakaknya. Hatinya terasa remuk redam dan dendam membara terus membakar dirinya, suatu saat ia akan meledak berkeping-keping seperti aku tergeletak mati dengan tenang di kamar ini-pikirannya terus menggodanya seperti seorang kiai yang digoda oleh sekelompok wanita cantik dengan tubuh telanjang bulat dan harum wanginya menusuk nafsu dan keimanannya. Di sebelah kanannya tape recorder yang dibelinya beberapa tahun lalu, teman setianya yang selalu patuh melantunkan lagu-lagu yang membuahkan inspirasinya, kegembiraannya, kesedihannya, dan semangatnya. Tapi kini hanya sebatas suara yang tak berarti mendayu-dayu keluar dari speaker seperti orang yang tanpa kenal lelah bernyanyi untuk orang-orang yang bebal tanpa mengerti keindahan seni. “kau sudah tua, sudah waktunya mendapatkan pekerjaan agar nantinya kamu bisa mencari uang sendiri” Demikian kata-kata kakaknya terngiang-ngiang di telinga dan kepalanya. Di luar dia mendengar keributan sehari-hari teman-teman kostnya yang akan berangkat entah kemana, atau membicarakan hal yang remeh tapi dibuat hebat, kejorokan-kejorokan lain tentang bercinta dengan perempuan lain yang diceritakan dengan bangga di hadapannya dan teman-teman lainnya. Pernah dia mabuk bersama teman-teman lainnya dan dia menikmatinya dengan amat sangat. Mansion house dicampur root beer sedikit, rasanya seperti kamu meminum segelas coke tapi dengan sensasi tersendiri yang tidak mungkin bisa ditemui apabila kau minum segelas coke murni tanpa campuran apapun. Kita juga masih bisa bicara serius dan terkontrol tanpa harus berteriak-teriak dan mengganggu orang lain. Dan waktu itu teman-temannya memujinya karena campuran baru yang ditemukannya. Ah, masa lalu-apakah akan kembali lagi, tidak! Sudah cukup kegilaan itu.

Suara-suara itu keluar lagi dan kini lebih kuat dan keras. Suara itu berasal dari kertas-kertas yang berserakan tadi menyuruh untuk dilihat dan dilihat lagi. Meminta agar berpikir jernih dan meneliti kembali-ayo, tuan…lihatlah kami, baca kami kembali, teliti dengan lebih tekun agar tuan dapat menyelesaikannya. Dia memandangnya dengan acuh, tak peduli lagi seperti nyonya besar yang kaya dan pelit di hadapan anak-anak kecil yang kurus dan kelaparan meminta sedekah agar bisa makan hari ini. Pikirannya sudah buntu dan tak ada jalan keluar lagi. Suara-suara itu semakin keras terdengar-ayo tuan, cobalah….dia marah bukan kepalang, wajahnya ditolehkan dan dengan muka muak dan jijik dia memandang kertas-kertas tadi. Kemudian dengan tangannya ditumpuknya kertas-kertas itu dan ditaruhnya di mejanya yang berdiri di sebelah kirinya. Nah-kau tak perlu meminta-minta lagi. Aku kubur kamu dalam-dalam, setidaknya untuk sementara waktu ini, pikirnya. Dia merasa menutup pintu bagi suara-suara itu. Nyonya besar yang pelit dan kaya itu sudah menutup pintunya agar pandangannya terhalang oleh pemandangan yang memilukan tentang anak kecil yang kurus dan lapar tadi. Diraihnya bungkus rokok yang tinggal beberapa batang di dalamnya dan melangkah keluar dengan cepat. Langkahnya seperti orang yang terburu-buru terlambat ke tempat kerja. Langkahnya panjang dan pasti, namun tidak seperti pikirannya yang sedang gundah dan merana hanya karena kertas-kertas tadi. Sementara suara-suara tadi masih mengejarnya dari kejauhan makin lama makin mengecil dan akhirnya tak terdengar lagi.

Matanya mengarah pada bangku panjang dari bambu yang teronggok di depan kostnya tepatnya di teras. Terasnya kotor dan berdebu, entah kenapa selalu begitu. Ibu kostnya sering menyapunya setiap pagi dan sore tapi tetap saja kotor. Pemandangan yang biasa sehari-hari. Teras itu biasa dipakai oleh keluarga ibu kostnya untuk bergosip tentang macam-macam. Tentang tetangganya yang baru saja menang undian dan menjadi kaya mendadak, tentang saudaranya yang mau bercerai karena istrinya main dengan laki-laki lain, dan yang paling tidak mengenakan bagi anak-anak kost lainnya yaitu tentang kehilangan barang atau sejumlah uang. Pernah pada waktu itu ada teman kostnya yang kehilangan sejumlah uang dan hal itu diketahui oleh para penghuni kost termasuk dirinya yang masuk dalam daftar orang yang dicurigainya. Tentu hal tersebut membuatnya berang dan marah walaupun seperti biasa, tidak menunjukkan kemarahannya secara langsung. “Oh, ya-mungkin dia yang mengambilnya-kan dia lagi butuh uang buat beli hand phone…” Masih teringat kata-kata ibu kostnya yang menusuknya dan dia menunjukkan kemarahannya dengan tidak bicara dengan ibu kostnya selama seminggu. Hatinya sakit selama sebulan dan hanya itu yang bisa dilakukan.

Langkahnya sampai pada bangku bambu itu. Langkahnya terhenti dan diperhatikan dalam-dalam bangku itu. Harapan yang muncul mengharap hilangnya penat dan capek dalam pergulatan pemikirannya dengan dirinya sendiri beberapa waktu yang lalu. Bangku itu tidak diletakkan sebagaimana mestinya, agak miring dan penataannya asal-asalan. Bangku itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa sang pembuatnya mempunyai selera seni yang tinggi, cukuplah agar nyaman bila seseorang duduk disitu. Sedikit reot memang dan apabila seseorang yang berat badannya agak berlebih duduk disitu akan menimbulkan bunyi berderak mengerikan yang membuat orang yang duduk akan berpikir dua kali apakah bangku itu akan ambruk setelah pantatnya menyentuhnya. Bangku itu sudah berjasa bertahun-tahun hidupnya selama dia tinggal di kostnya. Ibu kostnya membelinya entah sudah beberapa tahun yang lalu, waktu dia masih baru tinggal beberapa hari disitu atau mungkin juga bangku itu sudah ada sejak dia belum tinggal disitu. Dia sering menghabiskan waktunya duduk di bangku itu untuk belajar apabila ujian sudah datang, minum-minum dengan teman-temannya, atau hanya melamun saja-dan itulah yang akan dilakukannya pada sore yang panas itu.

Angin menerpa wajahnya pelan dan dia mengambil napas dalam-dalam seperti seorang napi yang baru keluar dari penjara setelah mendekam bertahun-tahun dalam sel tahanan. Kemudian dengan pelan dia mendudukan pantatnya dan muncul lagi suara berderak namun dia sudah tidak peduli lagi apakah bangku itu akan patah atau hanya menakutinya. “Ah, enaknya bisa santai sejenak” Dia menggumam sendiri kemudian menyalakan sebatang rokok. Suara gemeretak dari tembakau yang dililit kertas terdengar pelan dan dia menghembuskan asapnya begitu rupa sehingga mirip asap knalpot dari motor yang kehabisan minyak pelumas. Ditatapnya jalanan yang ada di kejauhan, satu dua motor melintas-ibu dengan anaknya yang masih kecil dengan tasnya yang kebesaran, orang tua dengan sepedanya, seorang dengan jaket kulit dan tas melingkar di badannya seakan dia sedang terburu-buru ingin pulang ke rumah, semua diperhatikannya.
“Hei, melamun saja-ayo makan…” Lamunannya terhenyak ketika salah satu teman kostnya menyapanya dengan mendorong motor. Dia sedikit gelagapan tapi bisa menguasai diri.

“Duluan deh, aku belum lapar.”
“OK, yo.” Dia hanya tersenyum dan mengangguk memberi tanda. Selalu seperti itu setiap hari. Hanya menyapa tanpa ada percakapan lain. Dia merasa kecewa jarang mengobrol dengan teman-temannya. Teman akrabnya sudah lulus dan bekerja jauh dari kota itu, mungkin sekarang dia sudah menikah dan hidup bahagia layaknya orang-orang yang lain. Oh, Tuhan kapan aku mengalami hal ini, dia terus berpikir bahwa mimpi-mimpi seperti itu tidak pantas bagi dirinya yang selalu kesulitan untuk lulus karena idealismenya. “Mungkin kalau aku sudah lulus dan dapat pekerjaan…pekerjaan? Haha..mustahil terjadi. Buka usaha sendiri? Ah-mana uangnya?” Lamunannya melayang tidak karuan seperti layang-layang putus dan diterbangkan angin sesuka hati. “Mungkin aku tidak akan ditinggalkan olehnya kalau aku segera dapat pekerjaan waktu itu….” Ingatannya melayang ke masa dua tahun yang lalu sewaktu dia masih memiliki kekasih. “Bangku ini……sama dengan bangku waktu aku duduk dengannya……di rumahnya…..ah, ingatan yang kejam-kenapa kau mengingatkan aku ke sana!” Dia masih mengingat dengan detil wajah kekasihnya. Manis, lembut dengan tubuhnya yang terbungkus kaos berlengan panjang berwarna hijau. Dia-kekasihnya itu dulu-selalu memakai rok panjang polos atau bermotif, tangannya kecil dan lembut, matanya yang bulat sangat indah dan terasa teduh bila dipandang. Dia ingat sekali sewaktu memandang matanya untuk pertama kalinya. Mata seorang wanita sejati yang membuat damai hati laki-laki manapun yang melihatnya. Dia bagai malaikat yang turun dari surga untuk menyembuhkan luka dan sepinya hati kaum pria. Bulu alisnya yang sedang melengkung bagai busur dan…….ah ketika tangan dia menyentuh, terasa kegembiraan yang amat sangat dalam hati bagai musim semi yang mengembang setelah musim dingin yang beku dan muram dimana senyum ceria para penghuni bumi menyambut hari baru yang turun dari langit atas anugerah Yang Maha Kuasa. Ketika dia (kekasihnya) berbicara suaranya pelan tetapi terdengar jelas dan tegas. Suaranya terdengar di telinganya sekali lagi seperti memutarnya sekali lagi dalam rangkaian pikirannya. Dia biasanya langsung patuh dan menurut karena dia ingin memperlihatkan cintanya kepadanya. Seakan dia serahkan seluruh hidupnya pada kekasihnya itu. Hubungannya seperti arus yang searah kalau boleh dibilang. Dia teringat sewaktu menyatakan cintanya kepada kekasihnya dengan muka mengharap dan sedikit mengiba. Dan sebenarnya tidak hanya waktu yang menentukan apakah hubungan itu akan selamanya atau tidak. Tidak ada persamaan satu sama lain dan kepura-puraan dari kekasihnya yang memancarkan cinta yang tak tulus. Wajah kekasihnya yang mempunyai senyum menandakan keterpaksaan, tak bisa ditutupi bahkan kepada dirinya sekalipun tetapi dia seakan berbicara kepada kekasihnya: `berbohonglah untuk mencintaiku`. Siapa yang salah tak bisa dikatakan, hanya hati nurani yang dapat menjawabnya. Dan hati nurani? Kemanakah itu selama ini, selama hubungan mereka, tertinggal di belakang-tertutup oleh egoisme dan……..entah apa tapi pasti ada sesuatu yang lain. Nafsu? Tidak, tak separah itu dipikirkan olehnya. Hari-hari berikutnya berjalan dengan kering dan tanpa makna sampai kekasihnya tak kuat dan memutuskan hubungan mereka. “Mas, bagaimana kalau kita bersahabat lagi saja…….kau juga pasti tahu selama ini kita tak mungkin bersatu-aku tak tahu entah apa yang membuatnya demikian tapi…..tetap saja tidak bisa”. Dia hanya tertunduk lesu tak menjawab, dadanya terasa sesak bukan main, tangannya gemetar, harapannya runtuh dalam sekejap oleh kata-kata lembut kekasihnya yang mengalir bagai angin yang berhembus semilir menerbangkan setumpuk pasir halus yang telah ditumpuk selama berhari-hari oleh seseorang dengan susah payah dengan maksud tertentu. Dikumpulkan segala keberaniannya untuk menjawab dengan muka yang tegar namun sebenarnya amat rapuh.

“Baiklah, kalau memang kamu menginginkan demikian, lakukanlah apa yang seharusnya kamu lakukan sejak dulu. Aku lakukan karena aku terlalu mencintaimu.”
“Aku senang kamu akhirnya mengerti.” Kekasihnya menjawab. “Cinta memang tak harus memiliki-ya kan?” Kembali dia terdiam oleh kata-kata kekasihnya yang beberapa menit kemudian sudah bukan miliknya itu. Pandangannya menjadi kabur dan berkunang-kunang, kepalanya terasa berat seperti menanggung beribu-ribu ton beban, dadanya semakin sesak dan jantungnya berdegup kencang namun dia berusaha menguasai diri. Dia teringat bagaimana sikapnya di hadapan mantan kekasihnya, diam tak bergerak dan keringat dingin mengalir deras membasahi pakaiannya. “Kaos itu, kaos itu yang kukenakan sekarang………hahahaha…..bodoh sekali kau, seharusnya kau mengerti dari dulu kau tak pantas buatnya…..kau hanya pecundang tua……kau hanya sampah tak berguna yang bangkit dari kuburan rongsokan……….kau…..” Dia terdiam dalam racaunya, dalam gumamannya. Kini dia menutupi mukanya menahan sedih berkepanjangan, tak ada kenangan indah satupun dari dalam dirinya, segalanya tak ada….teringat pula masa kecilnya yang dianggap paling dungu sekeluarga karena tak bisa mengerjakan matematika dan hitung-hitungan lainnya. Bagaimana ayahnya menampar dirinya berkali-kali karena tak bisa menjawab soal satupun, bagaimana kakaknya mengejeknya begitu dalam sewaktu dia kebingungan dengan soal-soal hitungan sewaktu sekolah. “Suatu saat umurku akan mencapai 35, biarlah kucari cara paling baik untuk mati apabila aku belum dapat menggapai impianku…..sudah dekat sekali…..” Tekadnya memang sudah bulat dan itu sudah direncanakan bertahun-tahun.

Tiba-tiba dia merasa terbangun dalam buaian mimpi, wajahnya menengadah ke atas, mulutnya menganga seperti orang melihat pesawat terbang untuk pertama kali. Dilihatnya langit-langit teras yang kelabu dan kotor, dilihatnya jalanan yang tadi dan masih seperti itu hanya sekarang di hadapannya berdiri seorang wanita tua dengan pakaian yang lusuh dan mengenakan caping yang sudah berlubang. Wanita itu tak mengenakan alas kaki dan kakinya…..Tuhan…..sudah tidak normal lagi. Dia pasti kesulitan dalam berjalan dan bagaimana dia bisa sampai di sini.

“Den-sedekah, Den…..tolong…..”Mukanya memelas. Keriput di mukanya manandakan dia sudah sangat tua dan tidak pantas di luar berpanas-panas seperti itu di usia senjanya. Dengan cekatan sang mahasiswa merogoh kantongnya dan memberikan uang seribu rupiah kepadanya. “Terima kasih…….semoga Allah membalas kebaikan ‘njenengan’…..pareng…..” Sang mahasiswa hanya berdiri terpaku tak berkata-kata. Dia memperhatikan wanita itu berjalan menjauh sampai tak terlihat lagi kemudian dia duduk kembali. Dia terdiam sejenak, menyalakan sebatang rokok lagi dan duduk. Tak ada pikiran lagi dalam dirinya, kepalanya kosong, ingatannya hilang seperti tulisan di pasir pantai yang tersapu oleh ombak. Bahkan ingatan tentang rupa wanita itupun hilang dalam kepalanya, kekasihnya, keluarganya, kisah sedihnya…..pergi entah kemana. Dia pun tak berusaha mencari, dibiarkan saja seperti orang yang terhipnotis dan kehilangan barangnya.

“Kenapa aku di sini? Aku masih ada pekerjaan…….ah, kenapa aku bisa lupa…….”Dia tersadar seperti orang yang baru bangun dari tidur panjang atau seperti orang yang menemukan dirinya berada di alam lain tanpa kehendak dirinya. Kemudian dia berbalik mencari-cari ingatannya namun sia-sia. Akhirnya dia menyerah dan kemudian kembali ke kamarnya dengan berjalan pelan dan lemah seakan dia baru saja melakukan pekerjaan berat. Kepalanya terasa kosong seperti sebuah tong yang dikuras airnya, masih basah dalamnya menandakan tong itu pernah diisi penuh air, terbayangkan pula betapa berat tong itu ketika air itu masih memenuhinya dan tak ada seorangpun yang bisa mengangkatnya apalagi mebawanya. Perlahan-lahan dia mendekati pintu kamarnya dan melongok-longok ke dalamnya seakan itu bukan kamarnya. Suasana masih sepi, tak ada seorangpun sore itu. Entah kemana teman-temannya pergi dan dia tak peduli.

Yang pertama terlihat adalah tumpukan kertas-kertas putih di atas mejanya. Kertas-kertas yang pernah membuat dia depresi dan marah, tapi sekarang mereka terdiam. Dia melihat kertas-kertas itu seperti kumpulan orang yang menunggu kedatangan sahabat dari jauh. Mereka terdiam menunggu balasan hangat dari sahabatnya yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dia merasa pulang ke rumah di mana segala kerinduan dan kesedihannya tertampung. Sebuah suaka bagi orang yang tersesat di tengah ganasnya lautan kehidupan yang penuh teka teki dan kekejaman. Senyum tersungging di bibirnya melihat kertas-kertas tadi, perasaan lega bercampur haru beradu dalam hati dan otaknya. Kegembiraan perlahan-lahan tumbuh bagai matahari pagi di ufuk timur, seperti bunga yang baru mengembang di musim semi. Dia telah menemukan kembali dirinya setelah berjam-jam berkecamuk kemarahan, kekecewaan dan perasaan putus asa. Didekatinya kertas-kertas tadi, dibukanya buku-bukunya satu persatu dengan masih tersenyum riang. Dia menghela napas panjang tanda perasaan puas karena dia telah menemukan jalannya kembali. “aku tahu…..kau yang sebenarnya penyembuh bagiku……maafkan aku, teman…….” Dia mencermati pekerjaannya kembali, bergelut dengan penelitiannya kembali dan entah berapa lama kegembiraannya akan berlangsung, hanya dia yang tahu.

Read More..

Sang Murobbi; Kisah Perjalanan Hidup

Kali ini bukan cerpen biasa yang saya posting, melainkan cerita pendek Film Sang Murobbi yang bakal rencana direlease Juli mendatang. Karena Film pendek alias trailer maka silahkan dianggap cerita pendek :). Film yang menceritakan kisah perjalanan dan perjuangan Almarhum Ust. Rahmat Abdullah semasa hidupnya. Mengharukan dan penuh keteladanan.



Bagi anda yang ingin download Sang Murobbi silahkan klik disini. Untuk menjalankan file movie trailer Sang Murobbi ini anda membutuhkan FLV Player. Download FLV Player disini atau klik disini

Read More..

Bendera Setengah Tiang

Oleh: Retno Wi

Jarak kami dengan barisan polisi hanya dua langkah. Kami semakin waspada. Barisan di seberang kami juga semakin siaga. Tangan-tangan kami semakin erat berpegangan. Lantunan dzikir terus kami kumandangkan.
“Satu langkah ke depan!“
Kaki kami hampir melangkah, namun gelombang barisan di depan menghambur dan mendorong barisan kami. Aksi saling dorong tak dapat dihindari. Aku terjepit di antara tubuh berat aparat. Tangan-tangan kekar itu mencoba mencerai-beraikan barisan. Dengan pentungan, dengan tameng, dengan sumpah dan umpatan. Beberapa mahasiswa terkena pentungan. Jeritan takbir dan makian kasar menyatu di udara.

***
Musuh. Mungkin itulah anggapan mereka terhadap kami. Tapi yang pasti kami musuh para hakim yang merasa berkuasa untuk memvonis benar tidaknya sebuah perkara. Mungkin kami memang musuh. Tapi bukan musuh para aparat meskipun harus sering berhadapan dengan mereka. Juga bukan musuh anggota dewan walaupun gedung itu terlalu sering kita satroni. Pun, kami bukan musuh seorang presiden meski namanya sering tertulis di poster-poster yang kami usung. Musuh kami adalah setiap kedzoliman. Lawan kami adalah tirani. Pemberontakan kami hanya tertuju pada semua ketidakadilan. Siapapun pelakunya!!
Wajah-wajah itu terlihat semakin tegang di bawah sengatan terik matahari. Muka hitam mereka berlipat dibalik helm besar. Mata mereka menyipit tajam, menahan silau matahari yang menerobos kaca gelap helm. Sebuah pentungan kayu tergenggam erat di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Beberapa kawat berduri tak kalah rapi berbaris di sebelah kiri mereka. Kawat itu siap menyambut siapa saja yang berani menerobosnya. Di tempat yang agak jauh tampak gas air mata dan water canon memperlengkap ketegangan. Sungguh sebuah pasukan yang terlalu lengkap untuk sekedar menghadapi musuh yang berjumlah tujuh puluhan mahasiswa tanpa senjata.

Seorang mahasiswa muncul dari ujung kanan barisan. Saat langkahnya berhenti tepat di depanku, barulah aku mengenalinya sebagai Sandy, ketua BEM universitasku. Sebuah megaphone tersangkut lunglai di pundak kirinya. Matanya mengecil mencermati barisan dari ujung kiri ke ujung kanan. Topi yang menutupi sebagian rambutnya tak mampu menghalau cahaya matahari yang menyipitkan mata.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh!“ Suaranya tenang, memecah bising kendaraan yang lalu lalang di sekitar barisan.
“Sebelumnya kami mohon maaf kepada pengguna jalan, karena mungkin keberadaan kami mengganggu aktivitas bapak ibu sekalian. Tapi yakinlah, insyaallah keberadaan kami di sini juga dalam rangka memperjuangkan nasib bapak-ibu sekalian.“
“Hidup mahasiswa!“
“Hidup mahasiswa!“
“Allahuakbar!“
“Allahakbar!“
Tangan-tangan mengepal, membangun semangat agar tak luruh bersama tetesan peluh.
“Bapak-bapak polisi yang terhormat, kami sadar bahwa Bapak hanya melaksanakan tugas untuk menjaga ketenangan dan keamanan. Begitupun kami di sini. Kami sedang mengemban sebuah tugas besar. Sebuah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Telah mejadi kewajiban kami untuk mengingatkan bapak-bapak yang duduk di kursi panas kantor dewan agar mereka bekerja seperti yang diamanatkan rakyat. Bukankah demikian saudara-saudar?!“
“Betuu...ul!!..“
“Tapi apa yang kita lihat? Ternyata BBM terus menanjak! Koruptor masih berkeliaran dengan tenang! Bencana terus mendera. Kapan negri ini tenang? Kapan negri kita yang kaya ini makmur? Kapan rakyat dapat sekolah dengan nyaman? Kapan kita bebas dari cengkraman hutang?“
“Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa!“
“Allahuakbar!!“
“Allahuakbar!!“
Tangan-tangan kembali terangkat. Mengepal ke udara. Bendera-bendera berkibar. Panas matahari kian merekah. Angin berhembus, menyambut bahana takbir yang menggema.
“Bapak-bapak yang terhormat, kami adalah anak negri yang cinta damai. Kami adalah generasi bangsa yang cinta tanah air. Tapi kami lebih mencintai keadilan. Kami lebih mencintai saudara-saudara kami yang kelaparan. Anak-anak yang terlantar. Maka ijinkan kami mengadukan nasib mereka ke bapak-bapak yang ada dalam gedung dewan!”
“Bagaimana saudara-saudara?! Apakah kita siap memasuki rumah rakyat ini?!”
“Siaa..aap!!” Pandangan Sandy beralih ke barisan polisi yang setia mengawasi semua tingkah polah kami. Dengan sopan Sandy mengarahkan megaphone ke arah deretan bapak-bapak yang berseragam cokelat.
“Bagaimana, Bapak-bapak polisi? Apakah kami diijinkan masuk ke gedung ini?“ Tak ada jawaban. Hanya tatap mata mereka dari balik helm hitam mereka.
“Baiklah, kita beri kesempatan kepada bapak-bapak polisi untuk berpikir. Sambil menunggu teman-teman kita bernegosiasi, mari kita lantunkan mars perjuangan kita.“
Sambil bernasyid sesekali kami melompat-lompat untuk melakukan pemanasan. Tak peduli suara pecah kami yang terdengar. Kami memang tidak sedang konser nasyid. Karena kami bernasyid untuk menumbuhkan gelora semangat agar mengalir di setiap nadi kami. Di sela-sela bernasyid, kucoba melirik jam yang melingkar longgar di pergelangan tangan kananku. Hampir jam 11. Tepatnya 10.50. Sepertinya agenda aksi molor dari rencana semula. Kulemparkan pandanganku pada gerombolan mahasiswa yang bernegosisasi dengan beberapa aparat. Wajah-wajah mereka sangat serius. Sesekali Mata Sandy bertemu dengan salah seorang dari mereka.
Tanpa sadar, acara bernasyid telah selesai. Dan konsentrasiku kembali terpusat pada Sandy yang telah siap dengan megaphonenya. Panas. Peluh-peluh mengalir teratur. Tetes demi tetes, menanti kepastian dari pimpinan aparat berseragam coklat.
“Baiklah, teman-teman, sejenak kita dengarkan sebuah puisi dari saudara Rahman.“ Seorang mahasiswa menerobos maju dari tengah-tengah barisan. Sebuah ikat kepala terikat rapi menutupi sebagian rambut di keningnya. Tangan kanannya menerima megaphone dari Sandy. Setelah megaphone terpasang, tangan kirinya merogoh saku alamaternya. Sebuah kertas yang telah terlipat kusut terangkat. Dengan tangan agak tergetar, ia pun memulai puisinya.
“Sebuah Cerita dari Negri Harapan“
Hening. Semua mata, termasuk para aparat tertuju pada Rahman. Rahman pun melanjutkan puisinya.
Kudengar negri itu begitu kaya
Kudengar, tanah itu sangatlah suburnya
Kudengar jamrud itu amatlah eloknya
Kudengar gemericik air dengan jernihnya
Kudengar kicau burung nan riang dari langitnya
Sungguh, negri dengan sejuta pesona
Hamparan tanah dengan timbunan harta
Bangsa yang terkenal ramah bretatakrama
Sungguh, persada yang menjadi surga dunia
Tapi sayang.....
Apa yang kulihat tak seindah yang kudengar
Apa yang kusaksikan tak seindah khayalan
Telingaku tuli mendadak tanpa bisa mendengar
Lidahku kelu tanpa bisa merasa
Jantungku terhenyak tanpa detak
Hanya mata....
Hanya mata yang terbuka
Terpana ..........
Menyaksikan derai air mata di negri katulistiwa
Menyaksikan kobaran api kekuasaan di sela gemericik air sejuknya
Menyaksikan burung-burung sekarat kelaparan di ranting-ranting rindangnya
Menyaksikan ceceran darah jelata di mulut pongah penguasa
Inikah negri harapan itu?
Inikah surga dunia itu?
Ooo... Tuhan
Aku luruh, bersimpuh dalam rapuh
Ooo.. Tuhan
Aku akan berteriak dalam kebisuan
Dengan jutaan selaksa harapan
Dengan tangan-tangan yang terus terkepalkan
Dengan segenggam keyakinan
Bahwa semua akan berakhir dengan kemenangan
Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!

Rahman melipat kembali kertasnya dan memasukkan ke saku almamaternya. Ia melangkah ke tengah-tengah barisan setelah menyerahkan megaphone ke Sandy.
“Komando saya ambil alih kembali.“ Mata Sandy memastikan bahwa semua masih dalam kondisi terkendali. Sebuah kode kutangkap saat mata Sandy saat matanya bersiborok dengan beberapa mahasiswa yang baru menyelesaikan negoisasi.
“Alhamdulillah, sepertinya bapak-bapak polisi yang kita cintai memperkenankan kita masuk ke gedung dewan tepat jam 11.30“ Sekilas mata Sandy melirik lagi ke gerombolan negosiator. Tak lama kemudian, enam orang mahasiswa dengan tiga almamater berbeda melintas di depanku dan bergabung dengan barisan.
Sambil menunggu waktu, beberapa mahasiswa melakukan orasi bergantian. Jam di tanganku serasa berjalan lambat. Menunggu detik-detik ke angka 11.30.
“Allahuakbar!“ Telunjuk Sandy terangkat bersama takbirnya. Tepat jam 11.30.
“Allahuakbar!“ Kami pun menyambut takbir Sandy dengan merapatkan barisan. Tangan-tangan saling bergandengan. Siap-siap menyambut komando berikutnya. Beberapa polisi tampak berbisik-bisik dengan tatapan curiga.
Perwakilan mahasiswa telah berada di depan pagar masuk. Beberapa orang tampak sibuk membuka pitu pagar gedung yang terkunci.
“Allahuakbar!!“ Kali ini tangan Sandy terkepal. Dan itu berarti kami harus bergerak cepat menyusul teman-teman kami yang hampir masuk ke gedung.
Situasi langsung berubah. Aparat segera bergerak cepat. Barisan kami tepat di belakang para negosiator. Beberapa polisi berteriak agar kami mundur.
“Mundur!! Semua mundur!“
“Siapa yang mengijinkan kalian masuk??!!!“ Sepasang mata garang menghadang di depan barisan. Tampangnya bersungut. Helaan nafas sengalnya terdengar jelas.
Barisan terhenti sejenak. Sandy mencoba mencoba mengendalikan suasana. Barisan polisi pun tak kalah kaget. Beberapa orang polisi saling berbisik satu sama lain. Semua waspada.
“Saudara-saudara sekalian, kita tenang sebentar. Jangan terprovokasi oleh siapapun! Ingat hanya ada satu komando!“ Sandy mondar-mandir di depan barisan. “Barisan rapikan kembali! Ayo rapikan! Kita ke sini untuk menyampaikan isi hati dan jeritan rakyat. Kita datang tidak untuk mencari musuh! Kita juga tidak suka dengan segala bentuk anarkisme!“
“Sepakat!“
“Sepakat!“
Seorang mahasiswa maju menerima megaphone dari Sandy.
“Saudara-saudara sekalian. Saya hanya ingin menyampaikan hasil negosiasi kita dengan bapak-bapak aparat yang terhormat. Bahwa dari negosiasi tadi kita diijinkan masuk jam 11.30. Tapi entah alasan apa, ketika kita masuk ternyata dilarang.”
“Huu…..uuu!!!”
“Polisi payah!”
“Penipu!”
“Pembohong!”
Panas. Matahri semakin terik. Bau keringat semakin tengik.
“Masuk! Masuk! Masuk!“ Teriak kami kompak menyaingi sumpah serapah para polisi.
“Tenang!! Semua tenang!!” Sandy berteriak keras. Seorang mahasiswa tampak mendekat dan berbisik di telinga Sandy.
“Saudara-saudara, apakah kita rela kalau di bohongi??!!”
“Tidaa….ak!”
“Apakah kita mau di tipu lagi??!”
“Tidaa….ak!”
“Kalau bapak-bapak kita sudah berani membohongi kita, mereka akan pasti lebih berani membohongi rakyat. Betu....ul?!“
“Betuu....ul!“
Seorang polisi tampak tersinggung. Tangannya mengangkat pentungan. Namun polisis lain mencoba menahan.
“Gedung ini milik siapa?“
“Rakyat!“
“Dan kita siapa?“
“Rakyat!“
“Tiga langkah ke depan, jalan!“
Barisan bergerak kompak.
“Satu. Dua. Tiga!“
Jarak barisan dengan polisi tinggal 2 meter. Beberapa polisi kembali waspada. Ada yang mermas-remas tangan, ada yang semakin erat memegang tameng dan pentungan.
“Maju satu langkah!“
“Satu!“
“Mundur dua langkah!“
“Satu! Dua!“
“Tiga langkah ke depan!“
“Satu! Dua! Tiga.“
Jarak kami dengan polisi semakin dekat. Wajah-wajah lelah pun semakin jelas terlihat.
“Tiada kata lagi...“
“Kami takkan kembalii..“
“Tiada kata lagi...“
“Kami takkan kembalii..“
“Mundur! Mundur!“ Teriak seoarang polisi yang tepat di depan pagar masuk.
“Bagaimana teman-teman?!“ Sandy berteriak dengan serak.
“Masuk! Masuk!“
“Maju dua langkah!“
“Satu! Dua!“
Jarak kami dengan barisan polisi hanya dua langkah. Kami semakin waspada. Barisan di seberang kami juga semakin siaga. Tangan-tangan kami semakin erat berpegangan. Lantunan dzikir terus kami kumandangkan.
“Satu langkah ke depan!“
Kaki kami hampir melangkah, namun gelombang barisan di depan menghambur dan mendorong barisan kami. Aksi saling dorong tak dapat dihindari. Aku terjepit di antara tubuh berat aparat. Tangan-tangan kekar itu mencoba mencerai-beraikan barisan. Dengan pentungan, dengan tameng, dengan sumpah dan umpatan. Beberapa mahasiswa terkena pentungan. Jeritan takbir dan makian kasar menyatu di udara.
Sekelompok mahasiswa berhasil mendekati pagar. Mereka berjuang untuk membuka pagar masuk ke gedung dewan. Sementara aku dan teman-teman sibuk mempertahankan barisan.
“Cepat masuk!“
Rupanya pagar telah terbuka. Tepat di tengah-tengah pagar, beberapa mahasiswa berhenti dan siap menanggung resiko terberat, termasuk jika harus terjepit pagar.
Sebuah sirine memaksa para polisi menghentikan pekerjaannya.
„“Berhenti! Tenang! Tenang!“ Sebuah komando dari seorang polisis berpangkat........ Beberapa orang polisi yang baru datang, menarik tangan rekannya agar tidak lagi memukuli mahasiswa.
“Biarkan mahasiswa masuk!“
“Allahuakbar! Allahuakbar!“ Takbir langsung menggema menyambut komando dari si ..........
Dengan sedikit alot akhirnya barisan kami dapat masuk. Beberapa mata polisi masih tak dapat menyembunyikan kekesalannya. Gelombang barisan mahasiswa segera menerobos pagar menuju halaman gedung.
“Terimaksih, bapak-bapak yang kami cintai. Akhirnya kami diijinkan masuk ke halaman ini.“ Dika menggantikan Sandy yang telah kehabisan suara.
“Kami berjanji tidak akan merusak apapun! Bahkan bunga-bunga dan tumbuhan lain di gedung ini tidak akan kami sakiti. Sepakat teman-teman?!“
“Sepakat!“
“Baiklah. Sesuai dengan rencana semula kali ini kita mengharap pimpinan Dewann yang terhormat bersedia menemui kami. Kami ke sini hanya ingin menuntut sebuah keadilan. Kami datang hanya ingin mendapatkan kebenaran. Mengapa di tanah subur ini masih banyak yang kelaparan? Mengapa di negri yang kaya ini masih banyak kemiskinan? Mengapa di tanah yang hasil buminya melimpah semua harus mahal? Tapi mengapa masih ada yang bebas berkeliaran keluar negri? Juga masih ada yang tega melakukan korupsi?“
“Allahuakbar!“
“Allahuakbar!“
“Apa mereka tak melihat rakyat yang dilanda bencana bergantian? Yang tak punya rumah? Tak punya harta, juga saudara. Di mana nurani mereka? Ke mana hati mereka?“
Dika melihat jam tangannya, kemudian pandangannya menyebar ke sekeliling.
“Baiklah kawan-kawan. Karena hari semakin siang dan pimpinan yang kita tunggu belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sesuai agenda kita acara ini kita akhiri dengan teaterikal sebelum ditutup dengan do’a.“
Aku melihat sekeliling, mencari beberapa orang. Segera aku maju dan diikuti tiga orang yang lain. Sebuah keranda yang dibungkus kain hitam kami letakkan tepat di bawah tiang bendera. Aku maju menuju tiang bendera. Segera aku membuka ikatan tali pengerek. Setelah itu aku menengadah, melihat merah putih yang berkibar ditiup angin. Seorang mahasiswa emabntuku dengan memegangi satu tali yang lain. Aku mulai menarik turun bendera itu. Ya,, aku harus menariknya ke bawah, sampai setengah tiang. Perlahan, kibaran kain itu semakin dekat ke bawah. Namun tanganku langsung terhenti ketika suara keributan terdengar.
“Hentikan sekarang juga1“
Sebuah suara berat membuatku begidik.
“Lanjutkan, Han!“ Suara lain menyemangatiku.
“Saya perintahkan berhenti!“ Aku melirik ke sumber suara. Seorang berbadan tegap menatap tajam. Sementara beberapa mahasiswa tampak berdialog dengannya.
“Turun! Turun!“ Teriak teman-teman yang lain tak mau kalah.
Beberapa polisi yang mengzawasi kami tampakk tersenyum penuh kemenangan.
Kulihat sekali lagi bendera yang tak lagi berada di ujung tiang. Hampir aku menariknya,, tapi kurasakan sebuah benda menempel di punggungku. Dan teriakan takbir kembali menyatu denngan makian dan umpatan.

Read More..

Suatu Siang di Bungurasih

Oleh: Retno Wi

Untuk kesekian kalinya kutatap wajah bulat yang ada di depanku. Kucoba mencari kebenaran di sana. Ya Allah kalau dia benar-benar membutuhkan pasti aku akan sangat berdosa. Tapi kalau ternyata dia menipuku? Tak tahulah. Aku masih bingung. Apalagi jam di dinding terus bergerak. Sekilas aku teringat temanku yang pernah kehabisan ongkos saat menempuh perjalanan Surabaya – Jakarta. Uangnya tinggal 200 perak. Untunglah ada orang yang bersedia menolong.

***
Alhamdulillah, sampai juga di Bungurasih. Berarti sudah separo perjalanan yang kutempuh. Bis yang kutumpangi berhenti di jalur dua pemberhentian bis. Uff…hh!! Surabaya yang panas, sepanas orang-orang yang mengerubutiku.

“Perlu tenaga, Mbak?” seorang penyedia jasa angkutan barang menawarkan bantuan. Aku tolak dengan sopan sambil tersenyum. Aku tak ingin penolakanku menimbulkan reaksi yang tidak menyenangkan darinya. Ah, Surabaya tak pernah berubah. Bungurasih tak pernah sepi dari manusia.
Kupercepat langkah kakiku untuk menghindari buruan para calo yang mencari penumpang. Sekaligus memperkecil resiko kecopetan. Kabarnya terminal terbesar di Jawa Timur ini menjadi sarang para pencopet. Ya, maklum. Inilah Surabaya. Penduduknya padat, lapangan pekerjaan sempit. Sebagian orang akan melakukan apapun untuk bisa bertahan hidup.

Setelah antri sebentar akhirnya tiba juga giliranku untuk membayar peron. Kuangsurkan recehan perak kepada petugas. Setelah menerima karcis, aku bergegas memburu diantara arus manusia menuju ruang tunggu. Suasana ruang tunggu tak kalah bising. Langkah tergesa kaki manusia dengan membawa tas-tas besar saling berebut untuk mendahului. Apalagi ditambah klakson bis yang sahut-menyahut. Untunglah ada peraturan yang melarang awak bis mencari penumpang di ruang tunggu.

Jam di tengah ruang tunggu menunjuk angka 12.15. Berarti kemungkinan sampai di Jember jam 16.00. Masih bisa untuk menjamak sholat. Aku memang tidak terbiasa sholat di terminal ini. Selain musholanya jauh aku juga tidak berani sendirian. Entahlah, mungkin karena dari kecil aku tidak pernah pergi sendirian. Maklum, aku adalah si bungsu yang hanya mempunyai kakak laki-laki. Jadi kemanapun pergi selalu ada yang mengantar. Tapi sayang sekarang kakakku mulai sibuk jadi aku harus mulai belajar pergi sendirian.
“Assalamu’alaikum.” Sebuah salam terdengar nyaring disela-sela klakson bis yang terus bersahutan. Tak kuhiraukan suara itu, karena aku yakin tidak ditujukan untukku. Aku masih terus berjalan menuju tempat pemberangkatan bis. Aku harus cepat agar bisa mendapat kursi paling depan.

“Assalamu’alaikum.” Siapa, sih. Aku mulai penasaran. Aku semakin kaget ketika sebuah tangan menarik lenganku.
“Assalamu’alaikum” Untuk kesekian kalinya ia mengucap salam. Sangat sopan.
“Wa’alaikumsalam” Agak gugup aku menjawab salamnya.
“Ukh, dari tadi ana panggil sejak anti membayar peron. Kok nggak menjawab.” Aku hanya tersenyum.
“Maaf, Mbak. Soalnya ………. Saya kira Mbak bukan memanggil saya.” Aku masih belum mengerti siapa perempuan di depanku ini. Kuteliti dengan seksama, jangan-jangan aku pernah bertemu tapi lupa. Jilbab putih lebarnya, gamisnya yang bermotif bunga-bunga kecil, lengkap dengan kaos kaki dan sepatu hitam. Anehnya ia tidak membawa apa-apa. Memoriku buntu. Aku memang belum pernah melihat dia sebelumnya.
“Afwan, Ukh bisa duduk sebentar.” Pintanya menyadarkan lamunanku. Kami pun mencari kursi yang agak kosong. Meskipun sulit akhirnya dapat juga. Kalau semula aku hanya pasif, kini aku yang duluan bertanya.
“Maaf, Mbak ini siapa, ya. Sepertinya baru sekarang kita bertemu.” Kupanggil dia Mbak karena dari wajahnya aku yakin ia lebih tua dariku.

Bibirnya tersenyum sebelum menjawab. “Ana Rina, kalau Anti?”
“Saya Lilik.” Jawabku singkat.
“Begini, ehm…” Ia tampak kebingungan. Aku masih diam menunggu sambil sesekali memperhatikan jam dinding di tengah ruang tunggu. Apa sih maunya.
“Aduh, ana jadi nggak enak.” Kebingungannya semakin kentara. “Sebenarnya ana baru kena musibah.” Ucapnya dengan nada sedih.
“Innalillahi..” Aku mencoba berempati dengan kondisinya.
“Ana tadi ke Malang. Rencananya mau mengambil baju walimah yang dipinjam teman.” Mendengar nama Malang disebut, aku langsung tertarik. Karena sebelum di Jember aku pernah kuliah di Malang.
“Malang mana, Mbak? Tanyaku antusias.

“Daerah Dinoyo.” Orang di sekitar tidak lagi memperhatikan kami. Semua kembali sibuk dengan urusan masing-masing. “Karena nggak ketemu, akhirnya ana pulang lagi. Tapi saat menempuh perjalanan ke Surabaya, ana kecopetan. Dompet dan tas ana hilang. “Dengan tawa hambar ia mengakhiri ceritanya.
Aku mulai mengerti kalau sebenarnya Rina butuh uang. Tapi sampai ceritanya usai aku belum berinisiatif untuk menawarkan bantuan. Kulihat lagi jam dinding. Aku masih bingung antara percaya atau tidak dengan kisahnya. Logikaku mengatakan agar waspada. Ini adalah Surabaya. Semua modus penipuan bisa saja terjadi. Ah, waktuku semakin pendek.

Kuinggat-ingat uang yang aku bawa saat ini. Aku hanya membawa uang pas-pasan. Meskipun masih ada di tabungan, tapi semua telah kuanggarkan untuk membayar hutang. Motorku baru rusak berat dan untuk minta orang tua aku tidak berani. Untunglah ada teman yang memberi pinjaman. Konsekuensinya anggaranku bulan ini terpotong untuk membayar hutang.

Untuk kesekian kalinya kutatap wajah bulat yang ada di depanku. Kucoba mencari kebenaran di sana. Ya Allah kalau dia benar-benar membutuhkan pasti aku akan sangat berdosa. Tapi kalau ternyata dia menipuku? Tak tahulah. Aku masih bingung. Apalagi jam di dinding terus bergerak. Sekilas aku teringat temanku yang pernah kehabisan ongkos saat menempuh perjalanan Surabaya – Jakarta. Uangnya tinggal 200 perak. Untunglah ada orang yang bersedia menolong.

“Afwan, Ukh. Kalau boleh ana minta diongkosi untuk pulang.” Aku tidak kaget dengan ucapannya karena dari awal aku sudah menduga. Tapi…. Gimana, ya. Uangku hanya 50.000, itupun sudah terpakai untuk ongkos Kediri-Surabaya. Ya Allah, jawaban apa yang harus kuberikan? Antara rasa takut mendzolimi orang yang kesusahan dan khawatir tertipu bercampur menjadi satu. Terus terang, yang membuatku heran adalah sikapnya yang mudah meminta kepada orang yang belum kenal. Terdesak apapun, seorang akhwat tidak akan mudah meminta. Maksimal ia akan meminjam, bukan meminta. Tapi bisa jadi dia benar-benar terpaksa melakukannya. Setelah agak lama, kuberanikan bertanya tentang tujuannya.
“Rumah Mbak Rina dimana?” Bagaimanapun aku harus segera mengambil keputusan.
“Banyuwangi.”

“Banyuwangi mana?”
“Ana di jalan Bratang nomor 120 Banyuwangi.”
“Kalau begitu bareng saja. Saya juga mau ke Jember. Kita kan satu jalur.” Di benakku langsung terbayang aku akan naik bis ekonomi dalam cuaca yang sepanas ini. Tapi tak apalah, kan ada teman ngobrol.
“Tapi ana baru berangkat jam 2 nanti karena harus memblokir ATM yang juga kecopetan.
“Kan bisa telepon ke kantor pusat layanan sekarang?”

“Tapi ana harus menghubungi suami dulu. Suami saya baru pulang kantor sekitar jam 2 siang.” Kilahnya halus. Sebenarnya keraguanku semakin bertambah mendengar alasannya. Atau, jangan-jangan aku yang terlalu paranoid. Ah, sudahlah. Aku semakin kesal dengan diriku sendiri. Kalaupun tertipu aku masih ada uang di tabungan, daripada bersuudhon, padahal dia benar-benar membutuhkan. Otakku sudah capek berpikir lagi. Aku juga tak mau tersiksa antara rasa kasihan dan suudhon.

“Berapa, ongkos ke Banyuwangi?” Akhirnya kalimat itu muncul dari mulutku. Wajahnya tampak meunjukkkan rasa lega.
“Biasanya Rp. 18000.” Segera kusodorkan selembar duapuluh ribuan karena aku harus segera berangkat. Aku tak ingin sampai di Jember maghrib.
“Jazakillah, Ukh. Afwan ana ngrepotin.”
“Nggak apa-apa, kok Mbak. Saya pergi dulu ya, Mbak. Assalamu’alaikum.” Kutinggalkan bangku menuju tempat pemberangkatan bis diiringi tatapan aneh dari puluhan pasang mata di sekitarku. Masa bodoh dengan mereka. Segera kunaiki bis patas jurusan Jember. Sepanjang perjalanan aku masih memikirkan peristiwa yang baru kualami. Ah, biarlah pasti ada hikmahnya.
* * * *
“Hati-hati, lho mulai sekarang.” Mbak Atik berkata sambil menghitung sisa Tarbawi di etalase. “Sekarang susah membedakan antara orang yang benar-benar membutuhkan dengan penipu.” Sambungnya.
“Iya, lho. Pas aku pulang dari Nganjuk ketemu dengan orang seperti itu. Katanya kesusahan, eh ternyata penipu.” Mbak Ros yang sedang menyapu ikut bicara juga.
“Eh, Mbak Ros ketemu di mana?” Sambungku cepat.
“Di Bungurasih. Orangnya pake kostum persis akhwat.”

“Waduh! Jangan-jangan sama, Mbak.” Selaku cepat teringat kejadian dua hari yang lalu.
“Dek, Lilik ketemu juga?”
“Iya. Kemarin pas mau ke Jember aku juga ketemu di Surabaya. Katanya sih rumahnya Banyuwangi.”
“Eh, rumahnya di Jalan Bratang bukan?”
“Iya.”
“Eh..eh. Kalian kok memalukan, sih. Masa satu rumah tertipu oleh orang yang sama.” Sambung Mbak Atik geli.
“Dia cerita gimana, Dek?”
“Katanya kecopetan sewaktu naik bis dari Malang ke Surabaya.”
“Kok, sama ya ceritanya.”
“Berarti dia tergolong penipu yang nggak kreatif.”

“Sebenarnya yang menjadi masalah bukan uangnya. Tapi modus yang dipakai itu bisa merusak citra akhwat.” Aku setuju dengan pendapat Mbak Ros.
“Iya-ya. Aku jadi gemes juga. Kayaknya yang menjadi sasaran memang akhwat. Bahasa yang dipakai meyakinkan banget.”
“Kira-kira apa yang harus kita lakukan, ya. Kasihan, kan akhwat lain. Maunya membantu eh, malah tertipu.” Mbak Ros tampak berpikir keras, sampai tidak sadar kalau menyapunya salah arah.
“Apalagi kalau yang menjadi sasaran orang umum. Benar-benar merusak izzah kita.”
“Kalau kita membuat tulisan di koran gimana? Paling tidak memberi tahu agar para akhwat waspada.” Usulku memecah kesunyian.
“Bisa juga, sih.” Sambung Mbak Atik. Tapi sesaat kemudian. “Tapi apa nanti orang nggak salah paham?”
“Maksud Mbak Atik?” Kuperdekat kursiku ke arah meja.
“Takutnya pembaca akan mengira semua akhwat seperti itu. Penipu.”
“Benar juga, ya. Trus gimana?” Aku manyun sesaat. “Mbak Ros kasih usulan, dong!” Kulihat Mbak Ros masih serius berpikir. Aku dan Mbak Atik menunggu dengan sabar usulan Mbak Ros.
“Cepetan Mbak mikirnya.” Giliran Mbak Atik yang menjadi tidak sabar.
“Oh, ya. Aku ingat sekarang.” Wajah Mbak Ros tampak berbinar. Aku dan Mbak Atik menatap penuh harap. “Sekarang aku ada jadwal mengajar.” Lanjutnya tanpa bersalah. Waaa..aaa Mbak Ros jelek. Dikira mencari solusi, eh malah mikir yang lain. Aku dan Mbak langsung memburu Mbak Ros yang lari kebelakang.
* * * *
Kugeser tasku agar lebih dekat. Siang ini terminal Bungurasih agak sepi, sehingga banyak kursi kosong di ruang tunggu. Aku harus menunggu kakakku yang masih ke toilet. Seorang laki-laki duduk di bangku yang sederet denganku. Aku hanya melihatnya sekilas, selanjutnya aku teruskan membaca novel islam terbaruku.
“Assalamu’alaikum.” Sebuah suara menghentikan bacaanku. Reflek mataku menoleh ke sumber suara tadi. Deg!! Jantung serasa berhenti berdetak. Kutatap lekat wajah di depanku. Ia adalah orang yang telah menipu aku dan Mbak Ros. Ternyata aku bertemu lagi dengannya di sini. Sepertinya terminal ini memang menjadi daerah operasinya. Tapi kenapa dia seperti tidak mengenaliku? Apa karena terlalu banyak akhwat yang menjadi korbannya? Atau karena wajahku yang agak berubah akibat cacarku yang belum sembuh?
“Wa..alaikum salam.” Kuatur nafasku agar tetap tenang. Otakku segera berpikir keras untuk menyusun strategi dalam menghadapinya. “Duduk, Mbak.” Ajakku ramah. Setelah suasana agak cair, mulailah orang yang sekarang bernama Mia itu bercerita. Persis yang pernah dia ceritakan sebulan lalu. Benar-benar tidak kreatif, pikirku.

“Afwan.” Sambungku setelah ceritanya selesai. “Mbak lupa dengan saya?” Kutatap wajahnya tajam. “Sebulan yang lalu kita pernah ketemu di sini, kan?” Kulihat ekspresi wajahnya yang langsung berubah pias. “Dan Mbak juga mengarang cerita yang sama. Maskudnya apa?!” Aku semakin mendesaknya karena merasa berada di posisi yang menang. Ia hanya diam membisu. “Dengar, Mbak. Gara-gara perbuatan Mbak, nama jilbab jadi tercemar dan banyak akhwat yang menjadi korban. Kasihan, kan mereka. Belum tentu mereka punya kelebihan uang. Kalau Mbak memang mau menipu nggak usahlah berdandan seperti ini.” Dia hanya menatap sinis mendengar ucapanku. “Dan afwan. Sekarang saya nggak bawa uang karena sedang diantar kakak.”
Aku hampir melanjutkan kalimatku ketika terdengar suara yang cukup jelas di telingaku.
“Diam!! ..” Nafasku berhenti seketika saat laki-laki yang di sebelahku telah mendekat dengan sebuah pisau kecil di tangan. Aku mendelik karena tidak menyangka kalau Rina atau entah siapa namanya…mempunyai sindikat yang tidak main-main.

“Cepat beri yang dia minta,….atau kau ingin pilihan yang lebih buruk lagi, hah ..h!!”
“Ee…e. Iya … , iya Pak. Sebentar. Sebenarnya saya tidak membawa….”
“Cepat!!” Aduh, aku semakin gugup. Tremorku pun mendadak kambuh. Kakak, kenapa ke toiletnya lama sekali. Aku hampir menangis karenanya. Segera kuaduk isi tasku dan kutemukan satu-satunya lembaran lima puluh ribuan di sana. Disambarnya uang tersebut dengan kasar oleh Rina.

“Jazakillah, Ukhti.” Ucapnya dengan nada penuh kemenangan. Aku benar-benar marah dan jengkel dibuatnya. Tapi apa dayaku melihat mata laki-laki yang mendelik penuh ancaman terus mengawasi. Aku benar-benar lemas. Dari sela-sela hilir mudik manusia tampak kakakku datang dengan membawa botol minuman.
“Kakaaa..kk.!” Jeritku spontan. Yang kupanggil hanya bengong melihat, karena memang Rina dan temannya telah pergi. Uhh… dasar nggak peka!

Read More..

Perempuan Merdeka

Oleh: Retno Wi

“Jangan sebut ia dengan wanita. Ia adalah seoang perempuan. Bukan wanita. Kata wanita hanya akan menjebak para perempuan untuk siap diatur dan ditata tanpa ada kesempatan untuk membela hak-haknya.” Bagiku itu hanyalah filosofi kaum laki-laki jawa yang menciptakan kata wanita yang artinya wani ditata.
“Dena, rupanya kau belum bisa melupakan peristiwa di Kantor Dinas Sosial 3 tahun yang lalu.” Aku tidak berkomentar dengan ucapan teman seangkatanku itu. Ia adalah teman kuliahku di FISIP. Sejak mahasiswa kami aktif di organisasi intra maupun ekstra. Di luar kampus aku memilih aktif di sebuah LSM perempuan yang cukup punya nama di tingkat nasional. Setelah lama bergabung, akhirnya aku dipercaya untuk menjadi Ketua Litbang tingkat nasional. Semua fasilitas kuperoleh untuk kelancaran misi kami. Belum lagi kalau ada proyek-proyek terkait dengan pembinaan perempuan, maka aku akan mendapatkan fasilitas yang lebih banyak lagi.

***
Kunikmati segarnya kelapa muda dengan tenang. Setenang gelombang ombak di hadapanku. Rasa sejuk langsung menjalari sepanjang kerongkonganku. Pandanganku terlempar pada hamparan laut yang luas. Ada ketenangan menelusup ke relung jiwa. Ketenangan yang belum pernah kunikmati sebelumnya. Jiwaku seakan terbang seiring gemuruh ombak yang menderu. Seperti camar yang melesat ke langit biru. Perlahan buih air asin itu menarik paksa anganku menuju samudra lepas. Samudra kebebasan.

“Tahu petis, Mbak. Masih hangat, hanya Rp. 500.” Suara pedagang keliling mengusikku.
“Maaf.” Jawabku sambil terus menikmati desiran lembut angin pantai. Pedagang sialan, mengganggu saja. Rutukku setelah pedagang itu berlalu. Teramat jarang aku bisa menikmati keindahan, meskipun diriku termasuk orang yang memiliki segala kemewahan materi. Rumah megah di kawasan elit kota metropolitan, lengkap dengan pelayan. Mobil mewah keluaran terbaru serta fasilitas modern lainnya. Tapi semua itu tidak tampak indah dalam pandanganku. Hanya barang bagus dengan model terbaru yang sedang trend di kalangan orang-orang berduit. Tidak lebih. Sangat berbeda dengan pesona yang disuguhkan oleh garis cakrawala. Entah dimana ujung dari garis itu, aku tidak peduli. Yang pasti, garis itu telah menawarkan sebuah harmoni yang seimbang antara warna langit dan laut.

Kalau kupikir, sebenarnya pantai bukanlah tempat yang asing bagiku. Seminar-seminar dan pertemuan penting yang kuhadiri sering mengambil lokasi di sekitar pantai. Sayang aku hampir tidak pernah menikmati pesona kedamaian laut karena harus segera pergi ke tempat lain dengan agenda-agenda baru. Melakukan observasi, membuat program sampai membuat laporan. Begitu seterusnya. Itulah duniaku. Aku harus bekerja keras menyadarkan kaumku dari segala penindasan, ketertinggalan dan ketidakadilan. Mereka harus sadar kalau sedang ditindas. Mereka harus bangkit untuk menunjukkan kemerdekaan hak-haknya. Inilah yang menyebabkan keberadaanku di sini, mencari data tentang kekerasan yang dialami perempuan pantai di Jawa Timur.

Hampir dua jam belum ada fokus tema yang akan kuangkat sebagai bahan penelitian. Mataku masih enggan berpindah dari buih yang kadang bergerak menghalangi sebagian cakrawala. Di depanku tampak sebuah siluet indah. Kalau aku seorang pelukis pasti takkan kulewatkan nuansa biru langit yang berpadu dengan buih yang keperakan. Perahu beraneka warna yang sedang terapung memberikan gradasi warna yang kontras. Apalagi ditambah siluet yang terbentuk dari dua perempuan yang tampak asyik bercengkerama. Mereka kelihatan akrab. Seorang perempuan paruh baya dengan dandanan sederhana memakai kebaya dan jarik lusuh dilengkapi topi dari lebar dari anyaman bambu yang menutupi kepalanya. Di sebelahnya tergeletak sebuah nampan dari bambu berisi ikan. Sepertinya ia pedagang ikan asin, sebagaimana kebanyakan perempuan pantai di daerah ini. Tapi perempuan satunya? Apa yang ia lakukan? Mungkinkah kerabatnya? Sepertinya bukan, karena dari cara berpakaiannya jauh berbeda. Perempuan muda itu berjilbab dan rapi. Meski menurutku tidak modis sama sekali, tapi busananya itu tidak dapat menutupi bahwa ia perempuan terpelajar.

Perempuan muda itu mengangsurkan uang setelah menerima ikan asin. Tangannya tampak bergerak-gerak. Sepertinya ia menolak untuk menerima sisa uang dari penjual ikan. Kini tubuhnya tegak dan berjalan ke arahku. Dan, ooh…. Wajah itu?? Sebuah kotak memori tiba-tiba terbuka begitu saja di kepalaku. Bukankah ia adalah orang yang telah bersaing denganku ketika berebut proyek penanganan PSK saat kuliah dulu? Kagetku belum pupus ketika akhirnya dia menyapa.

“Assalamu’alaikum, Dena. Senang bertemu denganmu di tempat yang indah ini.” Mata di balik kaca bening itu berbinar. Seperti biasa, selalu ada senyum yang menghiasi wajah mungilnya. “Bagaimana, kabarmu?”

“Wa….wa’alaikum salam. A..aku baik-baik saja.” Sekuat tenaga kucoba mengusir rasa gugupku. “Apa yang kau lakukan di sini?” Kuatur nafasku agar tenang. “Sepertinya kau akan menyesatkan perempuan-perempuan di sini dalam keterbelakangan dan ketidakadilan!!” Kuberanikan menatap bola mata yang masih tampak tenang. Kulihat ia tidak terpengaruh dengan kalimat sinisku.
“Maksudmu wanita tadi?”

“Jangan sebut ia dengan wanita. Ia adalah seoang perempuan. Bukan wanita. Kata wanita hanya akan menjebak para perempuan untuk siap diatur dan ditata tanpa ada kesempatan untuk membela hak-haknya.” Bagiku itu hanyalah filosofi kaum laki-laki jawa yang menciptakan kata wanita yang artinya wani ditata.
“Dena, rupanya kau belum bisa melupakan peristiwa di Kantor Dinas Sosial 3 tahun yang lalu.” Aku tidak berkomentar dengan ucapan teman seangkatanku itu. Ia adalah teman kuliahku di FISIP. Sejak mahasiswa kami aktif di organisasi intra maupun ekstra. Di luar kampus aku memilih aktif di sebuah LSM perempuan yang cukup punya nama di tingkat nasional. Setelah lama bergabung, akhirnya aku dipercaya untuk menjadi Ketua Litbang tingkat nasional. Semua fasilitas kuperoleh untuk kelancaran misi kami. Belum lagi kalau ada proyek-proyek terkait dengan pembinaan perempuan, maka aku akan mendapatkan fasilitas yang lebih banyak lagi.

Sementara Lia, ia lebih memilih aktif di sebuah yayasan kecil yang ia dirikan bersama teman-temannya. Waktu itu aku tidak pernah peduli dengan semua yang ia lakukan. Tapi suatu saat kami bertemu di salah satu ruangan kantor Dinas. Saat melihatnya, aku cukup kaget karena ia mau mengunjungi kantor pemerintahan. Setahuku Lia hanya senang berkumpul di pojok-pojok masjid atau musholla. Rasa kagetku bertambah ketika mengetahui bahwa tujuan kami ternyata sama: melakukan presentasi proyek proposal tentang penanganan PSK di pinggiran kota. Kantor Dinas setempat memang mempunyai program pembinaan PSK yang penanganannya diserahkan pada LSM. Tapi sungguh malang, ternyata proposal yang diterima adalah proposalnya Lia. Bukan proposalku. Alasan pihak dinas karena konsep yang ditawarkan LSM Lia lebih sesuai dengan kultur masyarakat. Padahal LSM Lia hanyalah LSM baru yang belum genap 1 tahun berdiri dan patut dipertanyakan kemampuannya. Aku tidak tahu jalan pikiran para birokrat pada waktu itu. Konsep yang ditawarkan Lia sangat tidak manusiawi. Ia ingin para PSK nantinya menghentikan pekerjaannya. Ia tidak sadar bahwa dengan berprofesi sebagai PSK mereka bisa menafkahi anak-anaknya, bahkan suaminya. Justru para PSK itu harus dibantu agar tidak terjangkit berbagai penyakit dan bisa bermasyarakat dengan baik. Mereka menjadi PSK bukan kemauan sendiri, tapi keadaan ekonomi yang memaksa atau karena suami yang tidak bertanggung jawab.

“Dena” Segera aku tersadar bahwa Lia masih duduk di depanku. “Saat itu sebenarnya aku ingin menjelaskan tentang konsep pemberdayaan wanita…ehm…..maksudku perempuan, dan berdiskusi banyak denganmu. Tapi sayang kau terlalu cepat pergi.” Keluhnya bernada sesal. “Karena aku yakin sebenarnya kita bisa bekerjasama.”
“Bekerja sama? Nggak salah apa yang kau katakan?” Lia mengangguk pasti.
“Kenapa tidak??”
“Bagiku itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi.” Sambungku ketus. ”Kalian adalah pengekang kebebasan kaum perempuan. Kalian membatasi ekspresi perempuan dengan dalih agama. Sementara kami, selalu memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan perempuan dari segala bentuk kekerasan maupun ketidakadilan.” Lia tampak tenang menghadapi cercaanku. Jujur aku salut dengan penguasan emosinya. “Kita berada di dua kutub yang berlawanan, Lia. Sekali lagi dua kutub itu tidak mungkin bisa disatukan!”
“Kebebasan dan kemerdekaan perempuan.” Ia menggumam perlahan mengulangi ucapanku. “Kebebasan seperti apa yang kalian perjuangkan?”
“Tentu saja bebas dari segala bentuk ketidakadilan. Baik yang diakibatkan oleh hukum agama, hukum adat maupun hukum Negara yang sering memrginalkan posisi perempuan.”
“Kalau boleh kukatakan, sesungguhnya kebebasan yang kalian perjuangkan adalah kebebasan nisbi. Keadilan semu.” Aku tersentak dengan kelancangan kalimatnya. Egoku memuncak.
“Maksudmu?!!”
“Kalian tidak pernah memiliki standar yang jelas tentang kebebasan dan keadilan.” Angin pantai memaksa tangan Lia merapikan kerudungnya yang berantakan. Ia mengambil nafas panjang sejenak.
“Bagi kami, keadilan itu ada ketika tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Sedangkan kebebasan adalah dimana seseorang dapat berekspresi tanpa ada gangguan dari siapapun.”
“Definisi yang indah. Tapi sayang kalian sering tidak konsisten dengan definisi yang telah kalian buat.” Nada Lia cukup tenang tapi rasanya begitu dalam menusuk telingaku.

“Lia, kau tahu aku adalah orang yang sangat idealis. Jadi sekarang katakan dimana letak tidak konsistennya kami.” Gulungan ombak yang menghantam batu karang menambah ketegangan semakin nyata.
“Kau lihat penjaja ikan asin yang kutemui tadi.” Pandanganku mengikuti ekor matanya yang tertuju pada sosok perempuan yang sedang dikerumuni pembeli. “Ia telah lama tidak dinafkahi oleh suaminya. Suaminya pergi ke pulau seberang tanpa ada beritanya. Dialah yang harus menafkahi diri dan anak-anaknya. Tapi ia rela dan ikhlas menerima itu semua.” Lia menatapku sejenak. “Apakah ia telah mendapatkan keadilan sebagaimana yang kau inginkan?”
“Benar-benar laki-laki tidak pernah bertanggung jawab! Selalu ingin enaknya sendiri.” Pekikku geram. “Mereka itulah yang harus dibantu agar mendapatkan keadilan dan tidak tertindas oleh laki-laki. Masih beruntung seorang pelacur yang hanya melayani sesaat tapi ia langsung mendapatkan haknya.” Kalimatku meluncur begitu cepat berlomba dengan angin pantai yang berhembus.
“Di situlah tidak konsistennya kalian.” Kalimat Lia memaksa bola mataku menatap lekat kedua matanya.
“Kenapa?” Antara jengkel dan geram kucoba mencari jawaban atas tuduhan sinisnya.
“Kalian tidak obyektif dalam menilai sesuatu.” Lia menoleh kepada penjual ikan asin yang mulai melangkah pergi. “Perempuan itu memang ditelantarkan suaminya. Tapi ia tidak menganggap semua itu bentuk pemaksaan .
” Kunantikan kelanjutan kalimat Lia dengan kening berkerut. “Karena perempuan itu yakin ketika dia bisa ikhlas, maka keadilan yang sesungguhnya akan didapatnya. Keadilan dari Dzat Yang Maha Adil. Dan kini, keadilan itu telah didapatnya. Anak pertamanya telah menjadi seorang guru, dan anaknya yang kedua hampir menyelesaikan studinya di STAN. Di tengah kemelut hidup yang dialaminya, ternyata dia mampu berbuat adil pada anak-anaknya dengan memelihara dan menghidupi dengan cara yang bersih. Dia memilih menjadi penjual ikan asin meskipun harus berpanas-panas dan hidup dengan sederhana. Dia tidak memilih jalan pintas dengan menjadi pelacur seperti yang dilakukan oleh tetangga-tetangganya yang bernasib serupa. Kau tahu kenapa?” Aku hanya diam dengan pertanyaannya.
“Karena ia menilai bahwa seorang pelacur adalah salah satu sumber merebaknya ketidakadilan.” Aku semakin tidak percaya dengan keberanian Lia mengungkapkan analisis konyol dan tidak bermutu.
“Selama ini pandangan masyarakat tentang PSK adalah seputar kalimat amoral, aib, sampah masyarakat yang menurutku semua itu sangat tidak manusiawi. Tapi apa hubungannya antara pelacur dengan makna sebuah keadilan?”
“Ketika seseorang menjadi PSK, sesungguhnya ia telah berbuat tidak adil kepada anaknya, keluarganya, juga keluarga pelanggannya. Ia juga telah berbuat tidak adil pada masyarakatnya dan terutama kepada Tuhannya. Apalagi jika ternyata mereka hamil, tidak sedikit yang memilih menggugurkan kandungannya.”
“Tapi itu adalah hak mereka.” Jawabku ketus
“Tapi, anak mereka juga berhak untuk mendapat kehidupan yang halal, keluarganya maupun keluarga pelanggannya juga punya hak atas ketenangan hidup tanpa ada gangguan. Termasuk juga anak yang digugurkannya, ia punya hak untuk menikmati dunia. Inikah yang kalian sebut dengan keadilan? Padahal menurutku semua itu hanyalah pelampiasan ego yang diatasnamakan kebebasan. Bukankah demikian yang sebenarnya terjadi?” Dadaku terasa dihantam batu-batu karang dengan penuh keangkuhan. Kepalaku berputar terasa lebih cepat daripada sebelumnya. Idealismeku sebagai seorang feminis yang lama tertanam mulai terkoyak. Keningku telah basah oleh peluh. Bahkan desiran angin pantai tak mampu lagi menghilangkan peluh yang telah mendinginkan kening dan hatiku.

“Bukankah ia melakukan itu karena diperlakukan tidak adil oleh laki-laki yang secara resmi berstatus sebagai suaminya.”
“Dena, kalau semua manusia yang diperlakukan tidak adil melampiaskan dendam semaunya tanpa mempedulikan apakah ia telah berbuat tidak adil pada orang lain. Betapa hancurnya dunia kalau demikian.”
“Dena, sesungguhnya ketika engkau menginginkan kebebasan dari laki-laki, aturan masyarakat, pemerintah, adat bahkan agama, saat itulah kau telah terpenjara oleh egomu. Jiwamu diperbudak oleh materi serta kepuasan ego yang tak berdasar. Semua manusia punya hak. Tapi dunia akan hancur ketika semua manusia merasa bebas melakukan apa saja atas nama HAM yang dimilikinya. Di situlah perlunya aturan nilai yang universal, agar hak seseorang tidak menyebabkan terampasnya hak orang lain.”
“Aku tak yakin ada aturan yang universal. Karena kondisi geografis dan kultur dari tiap masyarakat berbeda. Bahkan teori feminisku pun kadang antara satu tempat dengan tempat lain harus bertentangan.”
“Bahkan lebih dari yang kau bayangkan, Dena. Aturan universal itu akan membebaskan perempuan dari segala bentuk perbudakan. Dengan aturan itu seorang perempuan tidak akan lagi menjadi budak suami meskipun ia berstatus sebagai istri, ia juga tidak bisa diperbudak penguasa meskipun ia seorang rakyat biasa. Ia juga tidak akan menjadi budak materi walaupun ia adalah perempuan pekerja. Ia benar-benar akan menjadi perempuan merdeka di hadapan penguasa maupuan manusia biasa. Bahkan ia pun merdeka di hadapan egonya sendiri. Perempuan yang dengan kemerdekaannya tetap berusaha adil dengan setiap peran yang dimilikinya.”

“Aku masih belum bisa mempercayainya.”
“Bukan salah Sang Pencipta ketika Ia menciptakan laki-laki dan perempuan. Adanya laki-laki dan perempuan adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah kehidupan. Cakrawala tercipta karena adanya langit dan bumi. Fajar yang indah ada karena adanya siang dan malam. Begitu pula dengan manusia, ia akan sangat bermanfaat jika antara mereka termasuk laki-laki dan perempuan bisa bekerjasama.” Kutatap mata bening itu dengan keraguan. Entah apa yang terjadi dengan otakku. Aku tak mampu berpikir lagi, bahkan tugas observasiku pun entah berada di otak sebelah mana.
Sebuah nada polyphonic membuat Lia siaga. “Maaf, aku harus pergi sekarang. Suamiku telah menunggu di parkiran. Jika ada kesulitan dengan observasimu, jangan sungkan untuk menemuiku di sini.” Tangan Lia memberikan sebuah kartu nama yang berlogo LSM yang dulu didirikannya.
“Terimakasih, mudah-mudahan saja kartu nama ini berguna.” Aku masih mencoba menunjukkan keangkuhan. Lia hanya tersenyum dan pamit. Angin pantai meninggalkan aku dalam kesendirian. Aku tidak tahu apakah ucapan Lia yang benar atau idealismeku yang rapuh. Suatu saat aku pasti menemukan jawabannya, entah kapan.

Read More..

Selembar Uang 5000

Oleh: Retno Wi

“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.

***
Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan untuk membujuknya.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”

Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.

“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”
“Ehm... “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi... kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.

“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.

“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.

“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.

“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”

* * *
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.

“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.
“Wa'alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.

“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.

Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.

“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatr nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.

“Mas Yanto mau kemana?”
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.

download cerpen lengkap

Read More..