Perempuan Merdeka

Oleh: Retno Wi

“Jangan sebut ia dengan wanita. Ia adalah seoang perempuan. Bukan wanita. Kata wanita hanya akan menjebak para perempuan untuk siap diatur dan ditata tanpa ada kesempatan untuk membela hak-haknya.” Bagiku itu hanyalah filosofi kaum laki-laki jawa yang menciptakan kata wanita yang artinya wani ditata.
“Dena, rupanya kau belum bisa melupakan peristiwa di Kantor Dinas Sosial 3 tahun yang lalu.” Aku tidak berkomentar dengan ucapan teman seangkatanku itu. Ia adalah teman kuliahku di FISIP. Sejak mahasiswa kami aktif di organisasi intra maupun ekstra. Di luar kampus aku memilih aktif di sebuah LSM perempuan yang cukup punya nama di tingkat nasional. Setelah lama bergabung, akhirnya aku dipercaya untuk menjadi Ketua Litbang tingkat nasional. Semua fasilitas kuperoleh untuk kelancaran misi kami. Belum lagi kalau ada proyek-proyek terkait dengan pembinaan perempuan, maka aku akan mendapatkan fasilitas yang lebih banyak lagi.

***
Kunikmati segarnya kelapa muda dengan tenang. Setenang gelombang ombak di hadapanku. Rasa sejuk langsung menjalari sepanjang kerongkonganku. Pandanganku terlempar pada hamparan laut yang luas. Ada ketenangan menelusup ke relung jiwa. Ketenangan yang belum pernah kunikmati sebelumnya. Jiwaku seakan terbang seiring gemuruh ombak yang menderu. Seperti camar yang melesat ke langit biru. Perlahan buih air asin itu menarik paksa anganku menuju samudra lepas. Samudra kebebasan.

“Tahu petis, Mbak. Masih hangat, hanya Rp. 500.” Suara pedagang keliling mengusikku.
“Maaf.” Jawabku sambil terus menikmati desiran lembut angin pantai. Pedagang sialan, mengganggu saja. Rutukku setelah pedagang itu berlalu. Teramat jarang aku bisa menikmati keindahan, meskipun diriku termasuk orang yang memiliki segala kemewahan materi. Rumah megah di kawasan elit kota metropolitan, lengkap dengan pelayan. Mobil mewah keluaran terbaru serta fasilitas modern lainnya. Tapi semua itu tidak tampak indah dalam pandanganku. Hanya barang bagus dengan model terbaru yang sedang trend di kalangan orang-orang berduit. Tidak lebih. Sangat berbeda dengan pesona yang disuguhkan oleh garis cakrawala. Entah dimana ujung dari garis itu, aku tidak peduli. Yang pasti, garis itu telah menawarkan sebuah harmoni yang seimbang antara warna langit dan laut.

Kalau kupikir, sebenarnya pantai bukanlah tempat yang asing bagiku. Seminar-seminar dan pertemuan penting yang kuhadiri sering mengambil lokasi di sekitar pantai. Sayang aku hampir tidak pernah menikmati pesona kedamaian laut karena harus segera pergi ke tempat lain dengan agenda-agenda baru. Melakukan observasi, membuat program sampai membuat laporan. Begitu seterusnya. Itulah duniaku. Aku harus bekerja keras menyadarkan kaumku dari segala penindasan, ketertinggalan dan ketidakadilan. Mereka harus sadar kalau sedang ditindas. Mereka harus bangkit untuk menunjukkan kemerdekaan hak-haknya. Inilah yang menyebabkan keberadaanku di sini, mencari data tentang kekerasan yang dialami perempuan pantai di Jawa Timur.

Hampir dua jam belum ada fokus tema yang akan kuangkat sebagai bahan penelitian. Mataku masih enggan berpindah dari buih yang kadang bergerak menghalangi sebagian cakrawala. Di depanku tampak sebuah siluet indah. Kalau aku seorang pelukis pasti takkan kulewatkan nuansa biru langit yang berpadu dengan buih yang keperakan. Perahu beraneka warna yang sedang terapung memberikan gradasi warna yang kontras. Apalagi ditambah siluet yang terbentuk dari dua perempuan yang tampak asyik bercengkerama. Mereka kelihatan akrab. Seorang perempuan paruh baya dengan dandanan sederhana memakai kebaya dan jarik lusuh dilengkapi topi dari lebar dari anyaman bambu yang menutupi kepalanya. Di sebelahnya tergeletak sebuah nampan dari bambu berisi ikan. Sepertinya ia pedagang ikan asin, sebagaimana kebanyakan perempuan pantai di daerah ini. Tapi perempuan satunya? Apa yang ia lakukan? Mungkinkah kerabatnya? Sepertinya bukan, karena dari cara berpakaiannya jauh berbeda. Perempuan muda itu berjilbab dan rapi. Meski menurutku tidak modis sama sekali, tapi busananya itu tidak dapat menutupi bahwa ia perempuan terpelajar.

Perempuan muda itu mengangsurkan uang setelah menerima ikan asin. Tangannya tampak bergerak-gerak. Sepertinya ia menolak untuk menerima sisa uang dari penjual ikan. Kini tubuhnya tegak dan berjalan ke arahku. Dan, ooh…. Wajah itu?? Sebuah kotak memori tiba-tiba terbuka begitu saja di kepalaku. Bukankah ia adalah orang yang telah bersaing denganku ketika berebut proyek penanganan PSK saat kuliah dulu? Kagetku belum pupus ketika akhirnya dia menyapa.

“Assalamu’alaikum, Dena. Senang bertemu denganmu di tempat yang indah ini.” Mata di balik kaca bening itu berbinar. Seperti biasa, selalu ada senyum yang menghiasi wajah mungilnya. “Bagaimana, kabarmu?”

“Wa….wa’alaikum salam. A..aku baik-baik saja.” Sekuat tenaga kucoba mengusir rasa gugupku. “Apa yang kau lakukan di sini?” Kuatur nafasku agar tenang. “Sepertinya kau akan menyesatkan perempuan-perempuan di sini dalam keterbelakangan dan ketidakadilan!!” Kuberanikan menatap bola mata yang masih tampak tenang. Kulihat ia tidak terpengaruh dengan kalimat sinisku.
“Maksudmu wanita tadi?”

“Jangan sebut ia dengan wanita. Ia adalah seoang perempuan. Bukan wanita. Kata wanita hanya akan menjebak para perempuan untuk siap diatur dan ditata tanpa ada kesempatan untuk membela hak-haknya.” Bagiku itu hanyalah filosofi kaum laki-laki jawa yang menciptakan kata wanita yang artinya wani ditata.
“Dena, rupanya kau belum bisa melupakan peristiwa di Kantor Dinas Sosial 3 tahun yang lalu.” Aku tidak berkomentar dengan ucapan teman seangkatanku itu. Ia adalah teman kuliahku di FISIP. Sejak mahasiswa kami aktif di organisasi intra maupun ekstra. Di luar kampus aku memilih aktif di sebuah LSM perempuan yang cukup punya nama di tingkat nasional. Setelah lama bergabung, akhirnya aku dipercaya untuk menjadi Ketua Litbang tingkat nasional. Semua fasilitas kuperoleh untuk kelancaran misi kami. Belum lagi kalau ada proyek-proyek terkait dengan pembinaan perempuan, maka aku akan mendapatkan fasilitas yang lebih banyak lagi.

Sementara Lia, ia lebih memilih aktif di sebuah yayasan kecil yang ia dirikan bersama teman-temannya. Waktu itu aku tidak pernah peduli dengan semua yang ia lakukan. Tapi suatu saat kami bertemu di salah satu ruangan kantor Dinas. Saat melihatnya, aku cukup kaget karena ia mau mengunjungi kantor pemerintahan. Setahuku Lia hanya senang berkumpul di pojok-pojok masjid atau musholla. Rasa kagetku bertambah ketika mengetahui bahwa tujuan kami ternyata sama: melakukan presentasi proyek proposal tentang penanganan PSK di pinggiran kota. Kantor Dinas setempat memang mempunyai program pembinaan PSK yang penanganannya diserahkan pada LSM. Tapi sungguh malang, ternyata proposal yang diterima adalah proposalnya Lia. Bukan proposalku. Alasan pihak dinas karena konsep yang ditawarkan LSM Lia lebih sesuai dengan kultur masyarakat. Padahal LSM Lia hanyalah LSM baru yang belum genap 1 tahun berdiri dan patut dipertanyakan kemampuannya. Aku tidak tahu jalan pikiran para birokrat pada waktu itu. Konsep yang ditawarkan Lia sangat tidak manusiawi. Ia ingin para PSK nantinya menghentikan pekerjaannya. Ia tidak sadar bahwa dengan berprofesi sebagai PSK mereka bisa menafkahi anak-anaknya, bahkan suaminya. Justru para PSK itu harus dibantu agar tidak terjangkit berbagai penyakit dan bisa bermasyarakat dengan baik. Mereka menjadi PSK bukan kemauan sendiri, tapi keadaan ekonomi yang memaksa atau karena suami yang tidak bertanggung jawab.

“Dena” Segera aku tersadar bahwa Lia masih duduk di depanku. “Saat itu sebenarnya aku ingin menjelaskan tentang konsep pemberdayaan wanita…ehm…..maksudku perempuan, dan berdiskusi banyak denganmu. Tapi sayang kau terlalu cepat pergi.” Keluhnya bernada sesal. “Karena aku yakin sebenarnya kita bisa bekerjasama.”
“Bekerja sama? Nggak salah apa yang kau katakan?” Lia mengangguk pasti.
“Kenapa tidak??”
“Bagiku itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi.” Sambungku ketus. ”Kalian adalah pengekang kebebasan kaum perempuan. Kalian membatasi ekspresi perempuan dengan dalih agama. Sementara kami, selalu memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan perempuan dari segala bentuk kekerasan maupun ketidakadilan.” Lia tampak tenang menghadapi cercaanku. Jujur aku salut dengan penguasan emosinya. “Kita berada di dua kutub yang berlawanan, Lia. Sekali lagi dua kutub itu tidak mungkin bisa disatukan!”
“Kebebasan dan kemerdekaan perempuan.” Ia menggumam perlahan mengulangi ucapanku. “Kebebasan seperti apa yang kalian perjuangkan?”
“Tentu saja bebas dari segala bentuk ketidakadilan. Baik yang diakibatkan oleh hukum agama, hukum adat maupun hukum Negara yang sering memrginalkan posisi perempuan.”
“Kalau boleh kukatakan, sesungguhnya kebebasan yang kalian perjuangkan adalah kebebasan nisbi. Keadilan semu.” Aku tersentak dengan kelancangan kalimatnya. Egoku memuncak.
“Maksudmu?!!”
“Kalian tidak pernah memiliki standar yang jelas tentang kebebasan dan keadilan.” Angin pantai memaksa tangan Lia merapikan kerudungnya yang berantakan. Ia mengambil nafas panjang sejenak.
“Bagi kami, keadilan itu ada ketika tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Sedangkan kebebasan adalah dimana seseorang dapat berekspresi tanpa ada gangguan dari siapapun.”
“Definisi yang indah. Tapi sayang kalian sering tidak konsisten dengan definisi yang telah kalian buat.” Nada Lia cukup tenang tapi rasanya begitu dalam menusuk telingaku.

“Lia, kau tahu aku adalah orang yang sangat idealis. Jadi sekarang katakan dimana letak tidak konsistennya kami.” Gulungan ombak yang menghantam batu karang menambah ketegangan semakin nyata.
“Kau lihat penjaja ikan asin yang kutemui tadi.” Pandanganku mengikuti ekor matanya yang tertuju pada sosok perempuan yang sedang dikerumuni pembeli. “Ia telah lama tidak dinafkahi oleh suaminya. Suaminya pergi ke pulau seberang tanpa ada beritanya. Dialah yang harus menafkahi diri dan anak-anaknya. Tapi ia rela dan ikhlas menerima itu semua.” Lia menatapku sejenak. “Apakah ia telah mendapatkan keadilan sebagaimana yang kau inginkan?”
“Benar-benar laki-laki tidak pernah bertanggung jawab! Selalu ingin enaknya sendiri.” Pekikku geram. “Mereka itulah yang harus dibantu agar mendapatkan keadilan dan tidak tertindas oleh laki-laki. Masih beruntung seorang pelacur yang hanya melayani sesaat tapi ia langsung mendapatkan haknya.” Kalimatku meluncur begitu cepat berlomba dengan angin pantai yang berhembus.
“Di situlah tidak konsistennya kalian.” Kalimat Lia memaksa bola mataku menatap lekat kedua matanya.
“Kenapa?” Antara jengkel dan geram kucoba mencari jawaban atas tuduhan sinisnya.
“Kalian tidak obyektif dalam menilai sesuatu.” Lia menoleh kepada penjual ikan asin yang mulai melangkah pergi. “Perempuan itu memang ditelantarkan suaminya. Tapi ia tidak menganggap semua itu bentuk pemaksaan .
” Kunantikan kelanjutan kalimat Lia dengan kening berkerut. “Karena perempuan itu yakin ketika dia bisa ikhlas, maka keadilan yang sesungguhnya akan didapatnya. Keadilan dari Dzat Yang Maha Adil. Dan kini, keadilan itu telah didapatnya. Anak pertamanya telah menjadi seorang guru, dan anaknya yang kedua hampir menyelesaikan studinya di STAN. Di tengah kemelut hidup yang dialaminya, ternyata dia mampu berbuat adil pada anak-anaknya dengan memelihara dan menghidupi dengan cara yang bersih. Dia memilih menjadi penjual ikan asin meskipun harus berpanas-panas dan hidup dengan sederhana. Dia tidak memilih jalan pintas dengan menjadi pelacur seperti yang dilakukan oleh tetangga-tetangganya yang bernasib serupa. Kau tahu kenapa?” Aku hanya diam dengan pertanyaannya.
“Karena ia menilai bahwa seorang pelacur adalah salah satu sumber merebaknya ketidakadilan.” Aku semakin tidak percaya dengan keberanian Lia mengungkapkan analisis konyol dan tidak bermutu.
“Selama ini pandangan masyarakat tentang PSK adalah seputar kalimat amoral, aib, sampah masyarakat yang menurutku semua itu sangat tidak manusiawi. Tapi apa hubungannya antara pelacur dengan makna sebuah keadilan?”
“Ketika seseorang menjadi PSK, sesungguhnya ia telah berbuat tidak adil kepada anaknya, keluarganya, juga keluarga pelanggannya. Ia juga telah berbuat tidak adil pada masyarakatnya dan terutama kepada Tuhannya. Apalagi jika ternyata mereka hamil, tidak sedikit yang memilih menggugurkan kandungannya.”
“Tapi itu adalah hak mereka.” Jawabku ketus
“Tapi, anak mereka juga berhak untuk mendapat kehidupan yang halal, keluarganya maupun keluarga pelanggannya juga punya hak atas ketenangan hidup tanpa ada gangguan. Termasuk juga anak yang digugurkannya, ia punya hak untuk menikmati dunia. Inikah yang kalian sebut dengan keadilan? Padahal menurutku semua itu hanyalah pelampiasan ego yang diatasnamakan kebebasan. Bukankah demikian yang sebenarnya terjadi?” Dadaku terasa dihantam batu-batu karang dengan penuh keangkuhan. Kepalaku berputar terasa lebih cepat daripada sebelumnya. Idealismeku sebagai seorang feminis yang lama tertanam mulai terkoyak. Keningku telah basah oleh peluh. Bahkan desiran angin pantai tak mampu lagi menghilangkan peluh yang telah mendinginkan kening dan hatiku.

“Bukankah ia melakukan itu karena diperlakukan tidak adil oleh laki-laki yang secara resmi berstatus sebagai suaminya.”
“Dena, kalau semua manusia yang diperlakukan tidak adil melampiaskan dendam semaunya tanpa mempedulikan apakah ia telah berbuat tidak adil pada orang lain. Betapa hancurnya dunia kalau demikian.”
“Dena, sesungguhnya ketika engkau menginginkan kebebasan dari laki-laki, aturan masyarakat, pemerintah, adat bahkan agama, saat itulah kau telah terpenjara oleh egomu. Jiwamu diperbudak oleh materi serta kepuasan ego yang tak berdasar. Semua manusia punya hak. Tapi dunia akan hancur ketika semua manusia merasa bebas melakukan apa saja atas nama HAM yang dimilikinya. Di situlah perlunya aturan nilai yang universal, agar hak seseorang tidak menyebabkan terampasnya hak orang lain.”
“Aku tak yakin ada aturan yang universal. Karena kondisi geografis dan kultur dari tiap masyarakat berbeda. Bahkan teori feminisku pun kadang antara satu tempat dengan tempat lain harus bertentangan.”
“Bahkan lebih dari yang kau bayangkan, Dena. Aturan universal itu akan membebaskan perempuan dari segala bentuk perbudakan. Dengan aturan itu seorang perempuan tidak akan lagi menjadi budak suami meskipun ia berstatus sebagai istri, ia juga tidak bisa diperbudak penguasa meskipun ia seorang rakyat biasa. Ia juga tidak akan menjadi budak materi walaupun ia adalah perempuan pekerja. Ia benar-benar akan menjadi perempuan merdeka di hadapan penguasa maupuan manusia biasa. Bahkan ia pun merdeka di hadapan egonya sendiri. Perempuan yang dengan kemerdekaannya tetap berusaha adil dengan setiap peran yang dimilikinya.”

“Aku masih belum bisa mempercayainya.”
“Bukan salah Sang Pencipta ketika Ia menciptakan laki-laki dan perempuan. Adanya laki-laki dan perempuan adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah kehidupan. Cakrawala tercipta karena adanya langit dan bumi. Fajar yang indah ada karena adanya siang dan malam. Begitu pula dengan manusia, ia akan sangat bermanfaat jika antara mereka termasuk laki-laki dan perempuan bisa bekerjasama.” Kutatap mata bening itu dengan keraguan. Entah apa yang terjadi dengan otakku. Aku tak mampu berpikir lagi, bahkan tugas observasiku pun entah berada di otak sebelah mana.
Sebuah nada polyphonic membuat Lia siaga. “Maaf, aku harus pergi sekarang. Suamiku telah menunggu di parkiran. Jika ada kesulitan dengan observasimu, jangan sungkan untuk menemuiku di sini.” Tangan Lia memberikan sebuah kartu nama yang berlogo LSM yang dulu didirikannya.
“Terimakasih, mudah-mudahan saja kartu nama ini berguna.” Aku masih mencoba menunjukkan keangkuhan. Lia hanya tersenyum dan pamit. Angin pantai meninggalkan aku dalam kesendirian. Aku tidak tahu apakah ucapan Lia yang benar atau idealismeku yang rapuh. Suatu saat aku pasti menemukan jawabannya, entah kapan.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Banyak sekali masalah sosial yang terkait dengan kaum hawa sulit dipecahkan. Mestinya pemerintah yang pegang peran dan tanggung jawab besar dalam hal ini. Tapi ironis juga, di pusat banyak program-program bagus yang diluncurkan tapi di tingkat lapangan dikerjakan asal-asalan. Asal laporan beres!

Muslimah Socks mengatakan...

Begitulah kondisi pemerintahan dan masyarakat kita mbak Novi. Memang gak mudah tapi juga bukan hal yang tidak mungkin untuk dibenahi. Thanks