Pisang yang Hilang

Oleh : Retno Wi

“Iya, aku tadi pagi sudah berangkat ke sini. Tetapi di tengah jalan aku bertemu dengan Bu Simon Ia begitu bingung melihat bayi kecilnya terus menangis karena kelaparan. Pak Simon sedang pergi ke seberang danau dan Bu Simon tidak berani meninggalkan anaknya sendirian.”
“Oh, Bu Simon yang baru melahirkan itu, ya? Kenapa bayinya lapar?”
“Karena sekeranjang pisang yang disiapkan untuk bayinya hilang...”

***
Pagi mulai menyapa Hutan Kedamaian. Lengkung matahari mengintip di balik bukit di seberang danau. Cahaya emas itu menerobos pohon, dahan, ranting dan daun. Menggugurkan tetes-tetes embun ke tanah basah. Menebarkan bau tanah dan rumput yang berbasah embun, menyatu dengan aroma aneka kembang pengisi hutan. Sungguh segar hawa pagi itu. Japut tak ingin melewatkan pagi indah itu sendirian. Segera ia keluar kandang, mengepak-kepakkan sayap, menarik-narik kakinya yang berjalu , lalu berkokok dengan keras.

“Kukuk..Kukuruyuu…uk!!”
“Kukuk..Kukuruyuu…uk!!”

Suaranya menggema ke penjuru langit dan memantul kembali ke bumi. Pohon-pohon memantulkan kokoknya menembus dinding rumah penghuni hutan. Gemanya mengabarkan ke seluruh penghuni Hutan Kedamaian bahwa pagi telah datang.

“Kukuk..Kukuruyuu…uk!!”
“Kukuk..Kukuruyuu…uk!!”

Di sebuah rumah mungil di dalam tanah, Ciko memicingkan mata. Melihat ke arah jendela, untuk memastikan apakah pagi benara-benar tiba. Sebuah cahaya remang terlihat dari lubang jendelanya.
“Rupanya pagi telah tiba! Aku harus segera bersiap.” Bergegas Ciko menuju dapur, menemui ibunya yang selalu bangun sebelum pagi tiba.

“Selamat pagi, Ibu.”
“Selamat, pagi, Nak?” Jawab Ibu Ciko sambil menjerang air.
“Ibu, pagi ini aku akan pergi ke danau. Aku akan bertemu dengan teman-temanku di sana.”
“Tidak menunggu sarapan dulu?”
“Tidak, Bu. Aku takut terlambat.”
“Baiklah, tapi hati-hati di jalan.”

Dengan riang Ciko berjalan menuju danau yang terletak di sebelah selatan hutan. Kadang dia melompat dan menyanyi. Dengan ramah, Ciko menyapa setiap penghuni hutan yang ditemui.
“Hai, Ciko!”
Langkang Ciko terhenti. Telinganya bergerak-gerak mencari sumber suara yang memanggil. Oh, rupanya Mony masih bergelantunngan di atas pohon.
“Hai, Mony. Mengapa kau masih bermalas-malas di atas pohon? Bukankah pagi ini terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja?”
“Siapa yang malas? Lihatlah, aku sudah mengumpulkan banyak pisang untuk persediaan makanku.” Mony yang tidak suka disebut pemalas menunjukkan sekeranjang pisang yang dimiliki.
“Banyak sekali!” Ciko memandang takjub melihat pisang yang kelihatan segar dan banyak. “dari mana kau mendapatkanya Mony?”
“Tentu kau tahu, tidak ada pisang seperti ini di Hutan kedamaian..” Jawab Mony sambil melempar kulit pisang semaunya. “Pisang ini hanyah tumbuh di Hutan Larangan.”
“Ooh.. begitu ya. Kalau begitu silahkan menikmati makanmu. Aku akan melanjutkan perjalananku.” Ciko kembali melompat dan menyanyi.

“Hei…Hei… Tunggu Ciko! Kau akan pergi kemana?” Teriak Mony sambil menggantungkan kedua tangannya di dahan.
“Aku ada janji bersama teman-teman. Selamat tinggal.” Ciko tidak lagi menanggapi teriakan Mony. Ia takut Mony akan datang dan merusak semua acaranya. Mony memang terkenal sebagai monyet yang suka usil dan jahil.
Suara kecipak air mulai terdengar. Itu pasti Belin dan Nuri. Ciko menebak dalam hati. Dan benar, ia melihat Belin sedang asyik berenang dan berkecipak air danau. Sesekali kepala Belin dimasukkan ke dalam air, dan mengeluarkannya lagi sambil menyemburkan air dari mulutnya.

“Selamat pagi, Ciko!”
“Pagi, Belin? Maaf aku agak telat. Mana Nuri?”
“Aku tidak tahu. Dari tadi aku masih sendirian.” Belin menepi dan berjalan ke arah Ciko.
“Aneh, bukankah Nuri tidka pernah terlambat?’’
“Iya, aku juga heran. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Nuri.” Belin tampak sedikit khawatir.
“Semoga saja tidak begitu.”

Tak lama kemudian terdengar cicit burung yang mendekat ke arah mereka.
“Pagi teman-teman. Maaf aku terlambat.” Nuri hinggap di sebuah ranting dengan agak tergesa. Nafasnya tersengal payah.
“Ada apa Nuri? Kenapa kau kelihatan sangat capek? Sepertinya kau baru dari tempat yang jauh.”
Sambil mengatur nafas Nuri menjawab.
“Iya, aku tadi pagi sudah berangkat ke sini. Tetapi di tengah jalan aku bertemu dengan Bu Simon Ia begitu bingung melihat bayi kecilnya terus menangis karena kelaparan. Pak Simon sedang pergi ke seberang danau dan Bu Simon tidak berani meninggalkan anaknya sendirian.”
“Oh, Bu Simon yang baru melahirkan itu, ya? Kenapa bayinya lapar?”
“Karena sekeranjang pisang yang disiapkan untuk bayinya hilang.”

“Apa? Sekeranjang pisang?” Ciko langsung terinngat pertemuannya dengan Mony dengan tadi pagi.
“Kenapa Ciko? Apa kau tahu sesuatu?”
“Tadi aku bertemu Mony. Dia menunjukkan sekeranjang pisang yang masih segar dan kelihatan enak.”
“Pasti Mony yang mencurinya.” Sungut Belin sebal.
“Jangan menuduh dulu. Siapa tahu Mony memang mempunyai pisang yang banyak.” Ciko mencoba meredam kekesalan Belin.
“Tapi, dari mana Mony mendapatkan pisang begitu banyak?”
“Katanya, sih dia mendapatkan pisang itu dari tepi hutan Larangan.”
“Huh! Aku tetap tidak percaya. Dia kan sangat jahil dan usil!” Belin masih bersungut kesal.
“Sudah! Sudah!” Nuri mencoba menenangkan kedua sahabatnya. “Sebaiknya kita cari jalan keluarnya.”
“Lalu bagaimana dengan rencana kita bertiga?” Belin mengingatkan tujuan pertemuan mereka pagi itu. “Bukankah kita harus memecahkan sebuah misteri?”
“Bagaimana, ya? Menurut Ciko gimana?” Nuri menggoyang-goyangkan kepalanya bingung.
“Sebaiknya kita bantu Bu Simon dulu. Kau tidak keberatan kan Belin?”
“Tentu saja tidak. Bukankah kita Trio Ciberi yang kompak dan suka menolong?” mereka bertiga tertawa mendengar kelakar Belin.

“Kalau begitu kita segera ke rumah Mony, sebelum dia keluar.”
Bergegas mereka melangkah ke temapt Mony. Nuri terbang di atas kepala Belin dan Ciko.
Di depan sebuah pohon besar ketiganya berhenti.
“Kenapa sepi sekali?” Belin bertanya lirih. Rumah Mony memang tampak sepi. Tak ada suara yang terdengar.
“Coba kau lihat Nuri. Apa ada sesuatu di dalam rumah Mony?”
Nuri terbang menuju sebuah dahan yang tertutup rumbia kering sebagai dinding dan atap.
“Aku tidak menemukan sesuatu Ciko?” teriak Nuri dari atas.
“Apakah ada pisang di dalam?”
“Hanya ada dua buah pisang biasa Belin. Tidak ada yang lainnya. Keranjang pun tidak ada.” Nuri kembali turun dan bertengger di dahan yang agak bawah.
“Aneh. Tadi Mony menunjukkan sekeranjang pisang itu padaku.” Ciko berkata pelan. “Coba kau ambil pisang itu Nuri.”
Nuri masuk ke rumah Mony dan mengabil dua buah pisang kecil-kecil. Sangat berbeda dengan pisang yang dilihatnya tadi pagi.
“Hanya itu?” Tanya Ciko meyakinkan.
Nuri mengangguk.

“Pisang yang ditunjukkan Mony adalah pisang yang besar dan kelihatan enak.”
“Apa mungkin Mony sudah menghabiskan pisangnya?” Belin mencoba memecah kebekuan suasana.
“Tidak mungkin Belin. Pisang itu sangat banyak. Mungkin baru tiga atau empat hari habis. Dan kalian tahu kan kebiasaan Mony?”
“Kebiasaan apa?” Tanya Nuri penasaran.
“Aduh, Nuri. Mony itu kan sangat jorok.” Serobot Belin.
“Benar. Tapi lihat, tidak banyak kulit pisang di sekitar sini. Hanya ada dua. Aku yakin itu yang dimakannya saat aku lewat tadi.”
“Apa ungkin pisang Mony di curi juga?”
“Entahlah. Sebaiknya kita selidiki masalah ini.”
“Tapi bagaimana dengan nasib Bu Simon dan bayinya?” Nuri kembali mengingatkan sahabatnya. “Pasti bayi kera itu sangat kelaparan.”

“Sebaiknya kau panggil si Daku agar mengantarkan pisang itu ke rumah Bu Simon.“
“Tapi ini pisang milik Mony, Belin?” Nuri agak keberatan.
“Biar saja. Nanti kita bilang saja kalau ketemu.” Jawab Belin sekenanya.
“Iya Nuri. Bayi kera itu lebih membutuhkan. Tidak mungkin kita berjalan ke tengah hutan dan mencari pisang. Butuh waktu terlalu lama, pasti bayi kera itu sudah sangat kelaparan. ” Sambung Ciko bijak.
Nuri bersiul tiga kali. Sepi. Tak ada jawaban. Nuri kembali bersiul. Sebuah suara berderap mendekat ke arah mereka.
“Ada apa teman? Apa ada yang bisa kubantu?” Sapa Daku ramah. Kuda kuat yang biasa menjadi kurir penghuni hutan itu meringkik nyaring.
Ciko pun menjelaskan semuanya kepada Daku.
“Baiklah kalau begitu. Serahkan pisang itu padaku.”
“Berapa kami harus membayarmu?”
“Oh… untuk kalian gratis! Karena kalian selalu membantuku saat kesulitan. Apalagi dua hari ini banyak yang menggunakan jasa kurirku.”

“Apa kau mengantar pisang?” Tanya Nuri.
“Bukan. Aku baru hari ini mengantar pisang. Aku hanya mengantar sampah pelepah tebu dan kulit kelapa ke keluarga kambing.”
“Ingat Daku, jangan berhenti sebelum sampai di rumah keluarga Simon. Jaga juga pisang itu agar tidak jatuh. Kau juga tidak boleh terlalu ceroboh dan……”
“Stop Belin! Kapan aku berangkat kalau kau terus bicara?” Daku mulai gemas kalau cerewetnya Belin kambuh. Segera Daku berlari ke barat menuju rumah keluarga Simon.
“Terimakasih Daku. Hati-hati di jalan. Jangan sampai tersesat ke Hutan Larangan.”
“Sekarang kita lanjutkan rencana kita.” Kata Nuri.
“Tapi aku sangat lapar.” Ciko merasakan perutnya melilit.
“Sebaiknya kita berpencar dulu. Aku akan terbang mencari tahu keadaan dari atas.” Kata Nuri
“Baiklah, aku akan berjalan ke arah utara ke tempat Mony biasa bermain.” Sambung Belin.
“Aku akan ke timur sambil mencari rumput atau wortel segar.”
“Kapan kita ketemu? Dan dimana?” Tanya Belin.
“Kita berkumpul di sini sebelum tengah hari. Aku akan bersiul kalau kita harus berkumpul.”
Ketiganya berpisah. Nuri terbang ke atas menembus pohon-pohon besar dan rindang. Belin berjalan ke utara menuju sebuah sungai kecil dan berenang. Tinggal Ciko sendirian.

“Ah, seandainya aku tadi makan di rumah tentu tidak repot.” Keluh Ciko dalam hati.
“Aha! Bukankah di sebelah timur hutan ada keluarga beruang yang mempunyai warung.” Ciko pun begegas ke arah timur ke arah rumah keluarga beruang. Keluarga beruang itu adalah pendatang baru di hutan Kedamaian. Mereka adalah beruang sawah yang sebelumnya tinggal di tempat yang jauh.
Sesampainya di depan rumah keluarga beruang, Ciko disambut ramah oleh Bu Bersa. Warung itu begitu penuh dan ramai. Sepertinya semakin banyak yang menyukai masakan keluarga beruang.
“Selamat datang Ciko. Aku punya menu baru yang spesial lo.”
“Benarkah Bu Bersa? Kalau begitu aku akan mencobanya.”
“Duduklah. Aku akan ambilkan untukmu.” Tak lama menunggu, Bu Bersa telah kembali dengan semangkuk makanan yang agak asing bagi Ciko.

“Makanan apa ini Bu Bersa?’’
“Cobalah,dulu. Pasti kau menyukainya.”
Dengan ragu Ciko menyendoknya.
“Ehmm… benar-benar enak. Bagaimana membuatnya?”
“Wah, kalau itu rahasia Ciko.” Jawab Bu Bersa sambil meninggalkan Ciko.
Selesai makan, Ciko melanjutkan tugasnya. Ada sesuatu yang membuat Ciko curiga. Dia berkelililng ke sekitar rumah keluarga beruang. Namun dia hanya menemukan kulit kelapa dan bekas perasan tebu. Tidak ada yang lain.
Ciko hampir melangkah lebih jauh, tapi kicauan Nuri telah memanggilnya. Bergegas ciko berjalan ke arah barat, menuju rumah Mony untuk berkumpul dengan Belin dan Nuri.

* * *
“Kau pasti mencurinya!”
“Eh, Mony buat apa aku makan pisang. Kau tahu aku seekor bebek. Tak mungkin aku makan pisang.” Teriak Belin tak kalah keras.
“Siapa lagi kalau bukan kau? Aku tahu kau begitu kesal padaku sejak aku tahu bahwa kau punya kebiasaan….”
“Stop Mony! Jangan kau teruskan.!”
“Ha..ha..ha….” Mony tertawa terbahak-bahak melihat Belin yang pucat.
“Hei…Hei. Ada apa kalian?” Ciko dan Nuri datang hampir bersamaan.
“Dia mencuri pisangku, Ciko.” Teriak Mony.
“Kau salah Mony. Belin tidak mencuri pisangmu.”
“Tapi pisangku tidak ada. Dan aku menemukan Belin di depan rumahku.” Mony meyakinkan Ciko dan Nuri.
“Dengar Mony. Kami bertiga memang di sini sejak tadi.” Ciko pun menjelaskan semua peristiwa yang terjadi.
“Begitulah ceritanya.”

“Lalu siapa yang mengambil pisangku? Aku berjuang keras mengumpulkannya agar tidak setiap hari pergi ke tepi Hutan Larangan yang lebat itu.” Mony sedih sekali meratapi nasibnya. “Kalian tahu pisang adalah makananku. Dan kalian tahu juga bagaimana Hutan Larangan itu.”
“Jangan bersedih Mony. Kami akan membantumu.”
“Iya, untuk itulah kami berkumpul di sini.” Sambung Nuri.
“Memangnya apa rencana kalian?” Mony berranya di sela tangisnya.
“Makanya diam. Jangan menagis terus agar kita bertiga dapat menyampaikan hasil penyelidikan masing-masing.” Belin mengomeli Mony.
Mony hanya diam, tak berselera untuk menanggapi Belin. Ia masih meratapi pisangnya yang hilang.

“Apa yang kau dapat Nuri?”
“Aku terbang mengelilingi Hutan Kedamaian. Tak banyak yang kutemukan. Hanya beberapa pohon kelapa di sebelah barat tidak lagi ada buahnya..”
“Apa ada yang lain?”
“Oh, ya aku ketemu Pak Bersa yang sedang membawa karung menuju Hutan Larangan.”
“Pak Bersa ke hutan Larangan?” Ciko bertanya heran.
“Kalau kau Belin?”
“Aku melihat tanaman tebu yang tumbuh liar di sepanjang sungai telah rusak dan tinggal sedikit.” jawab Belin.

“Sepertinya aku tahu siapa pencurinya.”
“Benarkah? Siapa Ciko? Aku ingin memukulnya.” Teriak Mony antusias.
“Ayo kita ke rumah Bu Bersa.”
Semua bersiap berangkat, termasuk Mony.
“Kenapa kau ikut monyet jahil?” protes Belin.
“Biarkan Belin. Kita perlu Mony nantinya.”
“Kau denngar itu, bebek cerewet.” goda Mony penuh kemenangan.
Sesampainya di rumah Bu Bersa, mereka langsung di sambut.

“Halo anak-anak. Sayang sekali warung sudah mau tutup. Karena semua makanan telah habis.”
“Kami ke sini bukan ingin mencicipi masakan Bu Bersa.” Jawab Ciko.
“Benar, kami datang untuk mencari pisangku yang hilang.” Mony tidak sabar untuk mendapatkan pisangnya.
“Maksud kalian apa?!” Bu Bersa yang semula ramah mulai tidak senang.
“Tentu saja ingin meminta pisangku!” sahut Mony galak.
“Jangan sembarangan bicara monyet jahil! Aku tidak pernah mencuri pisangmu!”
“Tapi Bu Bersa membutuhkan banyak pisang untuk membuat makanan tadi kan?” Tanya Ciko.
Bu Bersa agak gelagapan.
“Memang aku perlu banyak pisang untuk membuat makanan tadi. Tapi aku tidak mencurinya.”
“Lalu dari mana pisang-pisang itu?” selidik Belin.

“Aku tidak dapat mengatakannya. Pergilah, karena sebentar lagi Pak Bersa pulang. Kalian tahu Pak Bersa tidak suka dengan kalian.”
“Tapi aku mau pisangku kembali!”
“Berapa kali aku katakan. Aku tidak mencuri pisangmu monyet jahil!” teriak Bu Bersa sambil membanting pintu.
Brakk!!..

“Huh! Gara-gara kamu semua berantakan.” Sungut Belin sambil memonyongkan mulutnya ke arah Mony.
‘’Ciko, apa kamu yakin Bu Bersa pencurinya?” Nuri masih berputar-putar di udara.
“Aku jadi bingung. Tapi coba kita lihat di sekitar rumah ini, mungkin kita menemukan petunjuk baru.” Mereka segera mengelilingi rumah Bu Bersa. Setelah agak lama mereka kembali berkumpul.
“Mony, apa kulit pisang ini sama dengan pisangmu?” Tanya Nuri sambil melempar sebuah kulit pisang yang tidak utuh.
“Benar! Itu pisangku.” Teriak Mony sambil menunjuk kulit pisang itu dengan sepotong rotan.
“Tapi mengapa tidak ada kulit pisang yang lain?” Tanya Nuri tak mengerti.
“Pelepah tebu dan kulit kelapa yang kulihat juga tidak ada.” Sambung Ciko.
“Eh, bukankah Daku bilang mengantar sampah?” Belin teringat dengan Daku si kuda kurir. “siapa tahu dia bisa memberi petunjuk.”
“Baik, akan aku panggil dia.” Nuri segera bersiul dan bernyanyi. Tak lama kemudian derap kaki Daku telah terdengar.

“Wow, ramai sekali di sini!”
“Daku ceritakan pada kami sampah apa yang kau antar?” Tanya Belin.
“Apa kau juga mengangkut kulit pisang.” Serobot Mony.
Daku melihat Belin dan Mony bergantian.
“Ehm.. rasanya tidak.”
“Bagaimana kau membawa sampah itu?” kejar Ciko.
“Pak Bersa mengikat pelepah tebu dan menggantungkan keranjang yang berisi batok kelapa yang masih berkulit sabut.” Daku diam sebentar, mengingat-ingat sesuatu. “Oh, ya. Tadi ada beberapa sampah yang terjatuh. Aku akan mengambilkannya untuk kalian.” Daku pun berbalik dengan derapnya yang rancak.
“Aku mengerti sekarang.” Ciko mengerak-gerakkan kedua telinganya.
“Maksudmu?” Tanya Mony dan Belin hampir bersamaan.

“Keluarga beruang pencurinya.”
‘Tapi Bu Bersa menyangkalnya.” Sergah Belin.
“Kalau Bu Bersa menyangkal kita laporkan saja pada Pak Kancil. Pak Kancil pasti akan memberikan hukuman yang adil. Dia kan tetua yang bijak.” Nuri memberi pilihan yang disetujui teman-temannya.
“Baiklah. Akan kupanggil Bu Bersa.” Mony segera masuk ke pekarangan rumah keluarga beruang.
Tok! Tok! Tok!
“Bu Bersa! Kembalikan pisangku! Kalau tidak akan aku laporkan pada Pak Kancil!” Teriak Mony keras-keras. “Ayo, Bu Bersa! Cepat kembalikan pisangku dan pisang Bu Simon!”
Tak ada jawaban. Namun dari belakang mereka terdengar langkah berat. Gawat! Sepertinya….
“Hei! Kenapa menggedor pintu rumahku, hah?!” Nuri langsung terbang agak tinggi. Belin merapatkan sayap. Mony menghentikan ketukan pintu. Hanya Ciko yang berusaha tenang, meskipun kedua kaki dan telinganya gemetar. Ternyata benar, Pak Bersa orangnya seram.

“Kami ingin meminta kembali pisang Mony dan Bu Simon.”
“Tidak ada pisang Mony dan Simon di sini! Cepat kalian pergi!” sambil mengibaskan sebatang kayu.
“Pak Bersa tidak bisa mengelak. Kami punya bukti cukup kuat.” Ciko berkata berani.
“Apa bukti kalian, hah?!” tantang Pak Bersa tidak bersahabat.
“Akan kukatakan. Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya?”
“Jika aku dapat membuktikan, maka Pak Bersa harus memberikan ganti kepada Bu Simon dan Mony.”
“Jika tidak terbukti?”
“Jika tidak terbukti, kami akan membantu Pak Bersa bekerja di sawah selama 1 minggu.” Mony terperanjat mendengar usulan Ciko. Mulutnya hampir mengomel, tapi segera ditutup oleh sayap Nuri.
“Baik. Apa buktinya?”
“Nuri tunjukkan kulit pisang tadi.” Nuri segera melempar kulit pisang ke depan Pak Bersa.
“Bu Bersa menggunakan banyak pisang untuk menu barunya. Pisang di Hutan Kedamaian dan Hutan Larangan tidak banyak. Kalaupun ada, pasti masih mentah.” Ciko melihat ekspresi Pak Bersa. “Dan pisang itu telah diambil oleh Mony dan Pak Simon.”

“Kalau ada banyak pisang, tentu kalian dapat menemukan banyak kulit pisang di sini. Tapi mana? Mana, hah?!”
“Tentu saja tidak ada..karena kau menyuruh Daku mengirimkannya ke rumah keluarga kambing.” Mony menjelaskan dengan lebih berani. Di balik pintu, Bu Bersa mendengarkan semuanya dengan was-was.
Tepat saat itu, Daku datang dengan beberapa pelepah dan sebutir kulit kelapa yang masih ada batoknya.
“Bukalah batok kelapa itu, Daku.”
Kaki kuda itu menarik-narik batok kelapa yang masih terbungkus sabut. Belin yang tertarik, mendekati batok kelapa.

“Nah, semua lihat, kan. Ternyata Pak Bersa menyembunyikan kulit pisang di dalam batok kelapa.”
“Huh! Dasar pencuri!” Mony kembali bersungut sambil menunjukkan rotan kepada Pak Bersa.
“Hai Mony! Bukankah rotan yang kau bawa adalah bekas keranjang pisangmu?” teriak Ciko. Semua mata langsung tertuju ke tangan Mony yang masih memegang rotan.
“Benar. Ini rotan keranjangku. Masih ada bekas getah pisang di sini!” Mony semakin girang. “sekarang, kembalikan pisangku Pak Bersa. Atau aku akan melaporkan kepada Pak Lurah Kancil agar mengusirmu dari sini.”

“Jangan, Mony. Jangan lakukan itu. Aku mengaku telah mengambil pisangmu dan pisang Simon. Karena menu baru istriku banyak penggemarnya, sehingga kami butuh banyak pisang.”
“Kalau begitu, kembalikan pisang itu!” Teriak Belin.
“Tidak bisa Belin.” Suara Pak Bersa melemah.
“Kenapa tidak bisa?”
“Karena pisang itu sudah habis. Banyak sekali pembeli yang menyukai. Bolehkah aku menggantinya? Asal aku tidak diusir dari sini.”

“Bisa saja. Bu Bersa harus menyediakan masakan untuk keluarga Simon dan Mony selama 1 minggu.” Ciko membeli usulan.
“Baik Ciko. Aku setuju. Bukan hanya itu. Nuri, Belin dan Ciko juga bisa mendapatkan gratis.”
“Horee…!!” semua berteriak gembira.
“Tapi kalian tidak boleh melaporkan ini kepada Pak Lurah Kancil.”
Semua sepakat. Sejak saat itu, Pak Bersa menjadi baik kepada mereka, meskipun kadang kebiasaan marahnya kambuh. Ah… satu masalah selesai
.
download cerpen lengkap

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Banana, my little child is very like it. Bisa request via email? Soalnya di sini ziddu diblok. Gak bisa download

Muslimah Socks mengatakan...

Maaf kalo di beberapa negara luar negeri ternyata link downloadnya di blok (ziddu-ny). Silahkan mbak Santi kirim email ke saya. Nanti saya kirim naskahnya. Thanks

thoriq mengatakan...

aslmkm..
mbk nama saya thoriq, sejak dulu pgn bgt bisa nulis cerpen. tapi kok sulit bgt y.kmrn udh nyoba-nyoba bwt novel tapi bru 8 lembar trus tak hpus cz kayaknya lebai n jadul lagi muter-muter. mbak kasih saya saran dunk mbak.. ni alamat email saya.
thoriqhidayaturrahman@yahoo.com