PHK Bunda

Oleh : Retno Wi

“Oo… tentu saja. Daftar menunya ada di situ.” Telunjuk Bunda menunjuk selembar kertas yang terletak di bawah meja makan. Bergegas Muti berdiri dan membungkukkan badannya agar lebih dekat dengan daftar menu. Namun sebentar kemudian matanya mendelik melihat setiap menu yang tertulis. Sesekali dia menatap Bunda. Yang dilihat tetap tenang melanjutkan makan,seolah tak terjadi apa-apa...

***
Wajah Bunda serius. Keningnya berkerut. Bibirnya rapat mengatup. Matanya menerawang, menembus langit-langit ruangan yang putih bersih. Tangan kanannya mengetuk-ketukkan ballpoint ke pelipis. Tangan kirinya memegang kertas. Entah sudah berapa lama Bunda merenung. Tapi kertas yang di tangannya masih bersih. Kosong, tanpa tulisan satu huruf pun!
“Aha!” tiba-tiba Bunda berseru girang. Wajahnya sumringah. Lenyap sudah kerut keningnya. Bibirnya mengembang puas dengan mata berbinar gembira. Tak sia-sia ia merenung lama-lama.
Dengan cepat tangan Bunda bergerak membuat coretan di atas kertas. Secepat ide yang tiba-tiba mengalir lancar di otaknya. Sesekali Bunda berhenti untuk berpikir, jangan-jangan ada idenya yang belum tertuang. Benar saja, sebentar kemudian Bunda kembali menekuni pekerjaannya. Dilihatnya ulang kertas yang telah penuh dengan tulisan itu. Setelah yakin, Bunda tersenyum lega.

Kali ini Bunda berada di ruangan kerja Ayah. Tangannya sibuk menyalakan stavol, power CPU dan layar monitor. Setelah monitor siap, Bunda mulai mengetik pelan-pelan. Mata Bunda harus mencari posisi huruf yang diinginkan. Maklum, saat Bunda muda komputer adalah barang yang masih langka. Selama ini Bunda lebih suka meminta Ayah atau Muti, putri tunggalnya untuk mengetik jika harus membuat undangan ataupun urusan PKK lainnya. Tapi untuk masalah yang satu ini, Bunda ingin mengerjakan semuanya sendiri. Bunda ingin membuat surprise untuk Ayah dan Muti. Ah,lihat saja!

“Ugh, akhirnya selesai juga.” nada lega Bunda terdengar jelas saat lembar kertas terakhir muncul dari mesin printer perlahan-lahan. Setelah berjuang keras, akhirnya Bunda berhasil menyelesaikan tulisannya. Dengan komputer lagi. Kembali Bunda meneliti satu per satu huruf yang tercetak dengan times new roman berukuran besar-besar.

Oh,ternyata kesibukan Bunda belum selesai. Di meja makan Bunda meletakkan selembar kertas di bawah plastik transparan yang menutup meja makan. Dari meja makan, Bunda menuju pojok ruangan dan menempel potongan kertas di pesawat telepon. Tak lupa, Bunda mengunci telepon sebelum menempel kertas lainnya di pesawat televisi dan saklar lampu yang ada di ruang tengah. Setelah yakin semua beres, Bunda kembali beraksi di belakang. Tujuannya adalah kran dan wastafel. Di dekat dua benda tersebut juga tak luput dari tempelan kertas.

* * *
“Mana lauknya, Nda?”
“Lho, yang di meja makan itu apa?”
“Iya, tapi nggak biasanya begini? Biasanya minimal ada dua macam lauk. Tapi ini…?”
Tepat sebelum Bunda menjawab, Ayah datang.

“Asalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam.” Bunda dan Muti menjawab salam bersamaan.
“Wah, sudah siap makan, ya? Ayah gabung sekalian, lapar nih.” Bergegas Ayah menaruh tas dan mencuci tangan. Tak lama kemudian Ayah sudah bergabung di meja makan. Segera Bunda menyendokkan nasi ke piring Ayah. Muti hanya memperhatikan semuanya dengan sedikit dongkol.
Piring sudah di depan Ayah. Tiba-tiba Ayah terdiam. Matanya tertuju pada menu yang terhidang di meja makan. Muti terus memperhatikan setiap gerak Ayah. Tak ingin dia melewatkan satu adegan sekalipun.
“Mana lauknya, Nda?” Muti yang baru minum tersedak. Bunda meliriknya sekilas.
“Lho itu apa?”
“Maksudnya… kerupuk udang di toples ini?” Tanya Ayah dengan nada hampir tak percaya.
Bunda mengangguk mantap. Ayah menggigit bibir bawahnya bingung. Memandangi isi toples yang penuh dengan tumpukan kerupuk udang yang tertata rapi. Kerupuk udang emang enak,sih.Tapi,…
“Yah, katanya lapar, kok nggak segera makan?” Tanya Bunda sedikit menggoda.
“Eh… iya. Sampai lupa kalau Ayah tadi sebenarnya lapar.” Dengan sedikit kaku Ayah menyendok nasi dan menggigit kerupuk udang yang agak gosong. Muti sekuat tenaga mengatupkan kedua bibirnya, menahan tawa yang siap meledak.

Suasana makan siang itu sedikit kaku. Tak ada celoteh seperti biasanya. Bunda tak ingin suasana senyap berlangsung lama. Setelah menelan suapannya Bunda memulai pembicaraan.
“Mulai hari ini semua boleh menentukan menu makanan. Terserah ingin menu yang mana.”
“Benar, Nda?” wajah Muti langsung berbinar. Nasi ynag baru dimasukkan, langsung ditelan tanpa dikunyah
“Oo… tentu saja. Daftar menunya ada di situ.” Telunjuk Bunda menunjuk selembar kertas yang terletak di bawah meja makan. Bergegas Muti berdiri dan membungkukkan badannya agar lebih dekat dengan daftar menu. Namun sebentar kemudian matanya mendelik melihat setiap menu yang tertulis. Sesekali dia menatap Bunda. Yang dilihat tetap tenang melanjutkan makan,seolah tak terjadi apa-apa..

”Bunda.”
“Hmm..?” Tanya Bunda sambil memasukkan sesendok nasi ke mulut.
“Kok… menunya begitu?”
“Ada apa, sih Muti?” Akhirnya Ayah ikut nimbrung juga.
“Dengerin ya, Yah. Pilihan menunya, sayur asem, sayur bayem, tempe goreng, sambal goreng tempe, tempe bacem, stik tempe, sambal teri…….” Muti tak sanggup lagi meneruskan. Ia menatap Bundanya untuk yang kesekian kali.

“Masa nggak ada ayam dan daging sama sekali.?!”
“Muti.” Nada Bunda lunak. “Sekarang itu musim flu burung, isu anthrax juga mulai banyak. Jadi mending kita hati-hati.” Bunda menatap Muti dan Ayah bergantian. “Dan lagi sekarang semua kebutuhan sedang naik. Listrik, BBM, beras, sayur, minyak goreng, termasuk juga kebutuhan sehari-hari yang lain. Jadi kita semua kudu berhemat. Mestinya kita harus bersyukur bisa makan setiap hari. Masih banyak saudara kita yang kelaparan, sementara kita bisa makan rutin tiga kali sehari.” Bunda kembali memeprhatikan Ayah dan Muti. Ayah tampak mengangguk-angguk. Muti hanya diam sambil menarik-narik kedua sudut bibirnya. “Makanya Bunda melakukan PHK.”
“Lho, siapa yang di PHK, Nda?” Ayah yang sedang minum hampir tersedak kaget.
“Maksudnya, Program Hemat Keluarga.”
“Ooo….”

* * *
“Nda,!”
“Ehm…”
“Minta uang, dong.”
“Buat apa?” mata Bunda belum beralih dari kertas di depannya.
“Rok seragamku robek. Tadi kecantol paku di sekolah. Masa ke sekolah pake rok begitu?”
“Oo… gampang.” Kata bunda kalem.
“Kalau begitu, ntar sore aku belanja ya. Biar Bunda bisa segera menjahitnya.”
”Lho, mau belanja apa?” Bunda melirik Muti sambil membenahi kacamatanya.
“Ya, belanja kain lah, Nda.”

“Eh, siapa yang mau kasih uang? Dengerin, ya. Setelah tadi Bunda menghitung-hitung ternyata belum ada anggaran untuk membeli rok baru. Mungkin baru bulan depan.”
Mulut Muti terbuka seketika.
“Jadi roknya kamu jahit dulu. Ntar Bunda yang ajarin, biar kamu punya keahlian menjahit. Kalau jahitanmu rapi, lumayan, kan. Siapa tahu nanti bisa buka jasa reparasi rok robek. Pasti dapat duit.”
“Ha…ha…ha…!” Ayah yang sedang menonton drama komedi TV tertawa. Muti semakin sebal, merasa ditertawakan Ayah.

Tap!
Ayah kaget. Tiba-tiba layar TV gelap.
“Lihat kertas itu, Yah.” Bunda menunjuk kertas yang ditempelnya beberapa hari yang lalu. “Nonton TV maksimal 3 jam. Ayah sudah lama nontonnya. Padahal nanti malam pasti Ayah akan nonton berita lagi kan? Makanya sekarang disudahi dulu TV-nya.” Ayah hanya sanggup menarik nafas panjang.
“Iya, Yah. Masa Ayah lupa dengan PHK-nya Bunda?” Muti merasa senang dapat membalas kejahilan Ayah.
“Tuh, Muti aja dah pinter.”

* * *
“Yah, kayaknya Bunda bener-bener sudah kelewatan, deh. Masa tiap hari menunya tempee… melulu. Bisa-bisa aku kayak kedelai nanti.”
“Iya, Ayah juga heran. Biasanya Bunda kan boros banget. Tapi sekarang kok begitu hemat, ya?” Ayah berpikir serius. “jangan-jangan itu bukan Bunda?”
“Ah, Ayah jangan ngelantur, dong. Emang kalau itu bukan Bunda trus siapa?
“Iya juga, sih.”
“Muti pengen makan di luar, Yah.”
“Boleh, Ayah juga pengen lidah Ayah normal lagi. Mumpung Bunda nggak ada.”
Bergegas, ayah dan anak itu segera bersiap keluar, sekedar memenuhi keinginan lidah yang telah mencapai titik jenuh terhadap rasa kedelai.

* * *
“Gimana, Bu? Jadi diambil?”
“Aduh gimana, ya?”
“Ini murah lho, Bu. Dengan Rp.355.000, ibu sudah bisa mendapat busana muslim lengkap dengan tas dan aksesories tambahan. Biasanya tas dan aksesories kita jual terpisah.”
“Ehmm…., saya suka modelnya, tapi warnanya itu lho, Mbak?” Bunda mencoba menghindar. Maklum di tasnya uangnya Cuma Rp. 180.000. Mau jujur tidak punya uang jelas memalukan.
“Wah kalau warna lain nggak ada. Tapi kalau Ibu mau, bisa pesan. Cuma modelnya nggak persis seperti ini. Akan di tambahi sedikit, biar tidak sama persis. Maklum butik ini memang hanya mengeluarkan satu model.” Penjelasan pramuniaga butik membuat wajah Bunda sedikit cerah.
“Biasanya jadinya berapa lama, Mbak?”
“Sekitar dua sampai tiga minggu.”
“Trus bayarnya?”
“Ibu cukup menyerahkan uang muka setengah dari harga.”
“Ooo..” Bunda benar-benar lega. Impiannya memiliki baju baru sekelas butik terpenuhi. Tentang kekurangan uang, Bunda juga sudah mendapat solusi. Tinggal memperpanjang PHK, selesai semua urusan.
“Gimana, Bu?” Bunda agak terkejut.
“Eh, iya. Iya, Mbak saya jadi pesan. Untuk warna, saya ingin yang biru lembut.”
“Kalau begitu, silahkan Ibu ke kasir untuk membayar. Setelah itu Ibu ikut saya untuk dilakukan pengukuran.”

* * *
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Jawab Ayah dan Muti yang sedang duduk-duduk di teras samping rumah.
Bunda langsung menuju dapur, menaruh semua belanjaan. Sebentar kemudian Bunda sudah muncul lagi.
“Makan siang dulu, yuk.” Ajak bunda.
Muti melirik Ayah dan Ayah melirik Muti.
“Kenapa?”
Muti mengangkat alisnya dan melihat Ayah. Ayah pun mengangkat alisnya dan melihat Muti.
“Ooo… rupanya pada aksi mogok makan?” Bunda menangkap ada sesuatu yang tidak beres di rumahnya. “Teruskan saja. Asal tahu ya, Bunda tidak akan masak sampai makanan di meja habis. Jadi kalau sampai besok tidak habis, ya Bunda tetap tidak akan memasak.” Bunda langsung masuk ke rumah tanpa mau tahu reaksi Ayah dan Muti.

“Gimana, Yah? Kok Ayah diam saja, sih? Kita bongkar saja semua.”
“Tenang, Mut. Ayah sudah punya rencana, kok.” Jawab Ayah tenang. “Dengerin, ya. Wkxzs…kjhwast..wsyzxs….” Muti mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Tapi soal makanan dan ancaman Bunda tadi?”
“Benar, juga ya. Bisa-bisa tiga hari ini kita makan tempe bacem. Waduh gimana, Mut?”
“Yaa…, kita harus makan lagi, Yah.”
“Makan lagi?!” Ayah langsung terbayang dua mangkuk soto dan segelas es yang baru dimakannya.

* * *
“Muti! Ayo berangkat, Nak! Ayah pagi ini ada rapat.”
“Iya, Yah sebentar!” Muti bergegas menuruni tangga dan menuju Ayah. “Ayo, Yah. Nanti Muti telat.” Muti beralih ke Bunda. “Nda, Muti berangkat dulu, ya?” Tak lupa Muti mencium Tangan Bunda.
Beriringan Ayah dan Muti menuju pintu.

“Yah! Ayah nggak lupa sesuatu?” Tanya Bunda. Ayah berhenti dan membalikkan badannya ke belakang.
“Apa, ya? Sepertinya nggak ada yang ketinggalan.” Kata Ayah sambil menekan-nekan jidat.
“Tuh, kan Ayah mulai lupa. Ini,kan sudah tanggal lima. Ayah belum memberi uang belanja bulanan. Juga untuk telepon, listrik, air dan gas yang kebetulan habis.”
“Oo.. itu! Aduh, maaf Ayah lupa.” Segera Ayah mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar lima puluh ribuan.

“Kok?! Cuma ini, Yah?!” Tanya Bunda dengan kening berlipat. “Nggak salah? Semua kan pada naik?”
“Bunda, sebulan ini Bunda sudah menerapkan PHK. Jadi Ayah yakin uang itu sangat cukup untuk kebutuhan sebulan. Makanya, Ayah sangat mendukung aksi PHK bunda. Kalau bisa diteruskan saja.”
“Tapi…”
“Ayah! Ayo cepetan, nanti Muti telat!”
“Iya, sebentar. Sudah dulu ya. Ayah berangkat.” Tak lupa Ayah mengecup kening Bunda. Tinggallah Bunda yang kebingungan dengan enam lembar uang di tangan.
...
download cerpen bag 1 , download cerpen bag 2

7 komentar:

masanam mengatakan...

wa ha ha ha, gokil abis. Gua nyangkanya si bunda lagi betul2 serius berhemat. Eeeh , ternya ta itu toh maksudnya phk bunda :) Good

Anonim mengatakan...

I just can say it's great!

Anonim mengatakan...

Wow, amazing. Thanks for invite me to see ur blog. Saya bisa indonesia sedikit :)

Anonim mengatakan...

Salut buat bunda, sudah bikin PHK. Terharu juga, dibela-belain buat beli baju kesayangan. Kadang kita begitu ya? :)

Muslimah Socks mengatakan...

Thanks for Lisa. I hope you can enjoy it.

Muslimah Socks mengatakan...

Ya iyalah mbak Santi, makanya bisa jadi cerita. :)
Makasih kunjungannya ke Istana Cerpen. Kalo ada ide ujudul cerpen email saja

Muslimah Socks mengatakan...

Thanks Mr. vjache, I hope you know more about indonesian language. :)